Literasi

OPINI | DPR dan Jarak yang Kian Lebar dari Rakyat

×

OPINI | DPR dan Jarak yang Kian Lebar dari Rakyat

Sebarkan artikel ini

Ada sesuatu yang ganjil dalam demokrasi Indonesia hari ini. Lembaga yang secara konstitusional menyandang predikat wakil rakyat justru menjadi institusi yang paling jauh dari kepercayaan publik.

Berbagai survei nasional secara konsisten menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di posisi terbawah dalam tingkat kepercayaan masyarakat, tertinggal dari Presiden, TNI, bahkan lembaga penyelenggara pemilu.

Ini bukan semata soal citra. Ini adalah krisis representasi.

Survei Populi Center tahun 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya berada di kisaran 50 persen. Indikator Politik Indonesia bahkan mencatat angka yang lebih keras: sekitar 41 persen responden menyatakan tidak percaya atau sama sekali tidak percaya kepada DPR. Angka-angka ini bukan anomali sesaat, melainkan pola berulang yang menandai satu hal jelas—rakyat semakin meragukan apakah DPR benar-benar bekerja untuk mereka.

Ironisnya, DPR kalah dipercaya dibanding lembaga yang tidak memiliki mandat representasi langsung. Presiden dan TNI mencatat tingkat kepercayaan publik di atas 80 persen. KPU dan Bawaslu—yang perannya bersifat teknis dan administratif—juga memperoleh legitimasi lebih tinggi. Inilah paradoks demokrasi kita: wakil rakyat tidak dipercaya oleh rakyatnya sendiri.

Masalah ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan akumulasi dari cara DPR menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan yang kian tertutup dan elitis. Proses pembentukan undang-undang kerap berlangsung cepat, minim transparansi, dan miskin partisipasi bermakna. Rapat dengar pendapat publik memang digelar, tetapi sering kali tak berujung pada perubahan substansi. Kritik masyarakat sipil dicatat, lalu dilupakan.

Dalam praktik semacam ini, partisipasi publik kehilangan makna politiknya. Ia direduksi menjadi prosedur administratif semata—formalitas yang harus dipenuhi agar demokrasi tampak berjalan. Padahal substansinya kosong.

Faktor lain yang tak bisa diabaikan adalah mahalnya ongkos politik. Kursi DPR tidak diraih dengan biaya kecil. Konsekuensinya, banyak anggota legislatif terjebak dalam relasi utang politik—kepada partai, elite internal, dan pemodal. Dalam situasi ini, kepentingan rakyat kerap kalah oleh kepentingan yang lebih terorganisasi dan memiliki daya tekan kuat.

Tak mengherankan jika sejumlah kebijakan terasa jauh dari kebutuhan publik, tetapi justru dekat dengan kepentingan tertentu. Ketika undang-undang lahir sebagai hasil kompromi elite, bukan deliberasi publik, kepercayaan pun runtuh dengan sendirinya.

Perbandingan dengan lembaga lain semakin menegaskan masalah ini. Presiden dipersepsikan memiliki arah kebijakan yang jelas dan kendali eksekutif yang kuat. TNI dinilai disiplin serta konkret dalam menjalankan tugas. Sementara DPR tampil sebagai arena tarik-menarik kepentingan, sarat transaksi, dan minim keberpihakan yang tegas.

Rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR seharusnya dibaca sebagai peringatan serius, bukan gangguan. Ini bukan tanda masyarakat menolak demokrasi, melainkan tuntutan agar demokrasi benar-benar bekerja. Rakyat tidak alergi pada sistem perwakilan; yang mereka tolak adalah perwakilan yang tidak mendengar.

Jika kondisi ini dibiarkan, risikonya berbahaya. Undang-undang akan tetap sah secara hukum, tetapi rapuh secara legitimasi. Negara tampak stabil, namun berdiri di atas jarak dan kecurigaan antara wakil dan yang diwakili.

DPR perlu menyadari bahwa mandat elektoral bukan cek kosong lima tahunan. Kepercayaan publik tidak diwariskan oleh pemilu, melainkan dibangun dan dirawat melalui keberpihakan nyata, transparansi, serta keberanian menolak kepentingan sempit.

Tanpa perubahan mendasar, DPR akan tetap sah secara konstitusi, tetapi asing di mata rakyatnya sendiri. Dan demokrasi yang kehilangan kepercayaan, cepat atau lambat, akan kehilangan maknanya.

Pada akhirnya, DPR akan terus menyebut dirinya wakil rakyat. Sebutan itu sah secara hukum, tetapi kian kosong secara makna. Sebab ketika suara rakyat hanya didengar tanpa pernah sungguh-sungguh dipertimbangkan, yang tersisa dari demokrasi hanyalah ritual lima tahunan dan gedung megah yang sunyi dari nurani.

Jika DPR masih bertanya mengapa kepercayaan publik runtuh, barangkali masalahnya bukan pada rakyat yang terlalu kritis, melainkan pada wakilnya yang terlalu nyaman untuk tidak mendengar apa pun selain kepentingannya sendiri.

Kania Zahra Pradjna Paramitha
Mahasiswa Psikologi Universitas Bhakti Kencana Bandung