BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Sejarah selalu menjadi subject matter yang tak pernah habis digali dalam seni rupa. Ia menghadirkan narasi berlapis—tentang kekuasaan, konflik, hingga perubahan sosial—yang senantiasa relevan untuk ditafsir ulang. Ketertarikan inilah yang menjadi fondasi karya Pupung Prayitno, perupa asal Karawang, yang menjadikan sejarah daerahnya sebagai sumber utama penciptaan artistik.
Lahir di Karawang pada 15 April 1965, Pupung Prayitno tumbuh di wilayah yang menyimpan jejak sejarah panjang sekaligus dinamika sosial yang kompleks. Dalam praktik melukisnya, Pupung tidak sekadar merepresentasikan rupa, melainkan menghadirkan ekspresi batin sosial dan budaya yang terus ia selami. Gaya lukisnya bergerak di wilayah abstrak dan semi-abstrak, dengan pendekatan intuitif yang menempatkan rasa sebagai medium utama pembacaan karya.
Karawang, tempat Pupung lahir dan menetap, sejak masa lampau merupakan arena tarik-menarik kekuasaan antara Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram. Pada masa revolusi kemerdekaan, wilayah ini juga mencatat tragedi pembantaian ratusan warga sipil oleh pasukan kolonial Belanda pada 1947—peristiwa yang kemudian diabadikan Chairil Anwar dalam sajak Karawang–Bekasi. Lapisan-lapisan sejarah inilah yang menjadi ladang eksplorasi Pupung dalam karya-karyanya.
Narasi tersebut hadir dalam 30 lukisan yang dipamerkan dalam pameran tunggal The Journey: Past and The Future di Showroom Mobil Honda Kumala, Karawang, Jawa Barat, pada 13–30 Desember 2025. Menurut kurator Abdurahman Abro, pameran ini menjadi “ruang perenungan atas keterhubungan antara masa lalu dan masa depan,” sekaligus upaya membaca ulang sejarah melalui bahasa visual kontemporer.

Secara visual, Pupung mengandalkan gestur kuas yang ekspresif dengan pelapisan warna yang dibangun secara bertahap. Warna biru, cokelat, dan hitam tampil dominan, saling berkontras untuk menciptakan kedalaman ruang sekaligus intensitas emosi. “Teknik layering, tekstur, dan kontras warna digunakan untuk menghadirkan ekspresi yang jujur, kuat, dan berkesan,” seperti dituturkan seniman Abdurahman Abro.
Tema sejarah paling kentara muncul melalui penggambaran adegan peperangan. Pupung menampilkan barisan pasukan bertombak yang berhadap-hadapan dengan prajurit bertelanjang dada, berambut dikucir, dan menggenggam parang berlumuran darah, serta kelompok lain yang mengenakan serban. Adegan pertempuran laut juga hadir dalam karya Utusan Mataram di Karawang (2025), yang merekam konflik bersenjata di atas perahu-perahu.

Secara historis, pada 1632 M Sultan Agung mengutus Wiraperbangsa dari Galuh bersama sekitar 1.000 prajurit menuju Karawang untuk membebaskannya dari pengaruh Banten. “Wiraperbangsa dan pasukannya berhasil melumpuhkan tentara Banten. Pangeran Nagaragan, pemimpin pasukan Banten, dipenggal kepalanya sebagai bukti kemenangan dan dibawa ke Mataram,” ujar Pupung.
Relasi Karawang dengan Kerajaan Mataram juga ditafsir Pupung melalui kisah Surengrono yakni utusan pertama Sultan Agung di wilayah ini yang dikenal pula sebagai Aria Wirasaba. Ia ditangkap dan dieksekusi oleh pasukan kolonial VOC, sebuah peristiwa yang divisualkan dalam karya Surengrono vs VOC (2024).
Sebagai utusan Mataram, Aria Wirasaba bertugas menjaga wilayah barat dengan mengerahkan sekitar 1.000 prajurit, sekaligus membuka ladang pesawahan sebagai pusat logistik Mataram untuk rencana penyerangan ke Batavia. Namun, menurut Pupung, misi tersebut dianggap gagal karena tak pernah ada laporan yang sampai ke pusat kekuasaan Mataram.
Selain tema konflik dan kekuasaan, Pupung juga menyoroti perubahan lanskap Karawang. Wilayah yang dahulu dikenal sebagai lumbung padi penopang logistik Mataram kini menjelma menjadi kawasan industri yang padat penduduk dan fasilitas publik. Perubahan ini tergambar dalam karya Aku dan Ladang yang Memerah (2024).

Untuk menegaskan transformasi tersebut, Pupung melakukan apropriasi atas lukisan Andrew Wyeth, Christina’s World, yang ia tafsir ulang menjadi Has Changed. Lukisan ini menampilkan lahan pertanian yang terdesak bangunan-bangunan bertingkat. “Ini satire bahwa dunia Karawang sudah berubah. Di sekitar lingkungan saya kini berdiri gedung-gedung megah,” ujar Pupung.
Melalui kanvas, Pupung Prayitno tidak hanya menghadirkan jejak sejarah Karawang, tetapi juga mengajak publik merenungkan relasi antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, sebuah perjalanan visual yang sarat emosi, memori, dan kritik sosial.
Penulis: Kin Sanubary





