SUBANG, TINTAHIJAU.com — Di tangan Eman Suherman—yang akrab disapa berAnda Edos, karena Edos sendiri merupakan singkatan dari Eman dalam olah seni—seni rupa menjelma lebih dari sekadar gambar di atas kanvas. Ia adalah bahasa batin, denyut kehidupan yang menghubungkan manusia dengan alam, budaya, dan nilai-nilai spiritual yang kerap terabaikan di tengah hiruk-pikuk zaman. Melalui goresan warna dan garis, berAnda Edos menenun silaturahmi, membuka ruang kebebasan berekspresi, serta menanam harapan akan dunia yang lebih damai dan saling memuliakan.
Bagi berAnda Edos, seni bukan tujuan akhir, melainkan jalan panjang—ikhtiar sunyi untuk menjaga kemanusiaan. Namun, jalan itu tidak selalu ramah. Dalam tatanan sosial, seni kerap ditempatkan di pinggir: kebutuhan tersier yang hadir setelah segalanya terpenuhi, itupun bila sempat diapresiasi. Di tingkat kebijakan, perhatian terhadap seni dan kebudayaan masih sering kalah oleh kepentingan jabatan dan kelompok. Karena itu, ia menekankan pentingnya keberpihakan negara melalui regulasi dan anggaran yang jelas, agar seni rupa tidak sekadar bertahan, tetapi tumbuh dan memberi makna bagi pembangunan bangsa.
Di tengah keterbatasan, berAnda Edos memilih terus berjalan. Ia belajar, berkarya, sekaligus merawat lingkungan—menanam dan menjaga alam sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik keseniannya. Kesadaran ekologis itu bersemi dari ruang kerjanya sehari-hari, Studio berAnda Edos, yang berdiri sederhana di Jl. Rancakendal Luhur–Sekepicung Atas, Resort Dago Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Dari lereng perbukitan inilah gagasan, lukisan, dan harapan dilahirkan, tumbuh perlahan namun teguh.
Dalam kehidupan pribadi, berAnda Edos menjalani hari bersama sang istri, Tika Wartika, dan tiga buah hati mereka: Hany Figurhawa, Pandji Alam, dan Kilat Buana. Ia sempat menempuh pendidikan di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pasundan Bandung pada 1988–1993, meski akhirnya memilih meninggalkan bangku kuliah demi mengikuti panggilan seni. Tahun 1993–1994, Bali—khususnya Ubud—menjadi ruang belajar dan perenungan yang memperdalam langkahnya di dunia seni rupa.
Jejak pameran mulai terukir sejak 1995 melalui pameran bersama di Taman Budaya Jawa Barat, yang kemudian menginspirasi lahirnya Galeri Tea. Pada 2003, namanya tercatat dalam Asia-Pacific Interpellation CP Open Biennale di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Tidak hanya berpameran, ia juga aktif membangun ekosistem seni: mengusulkan ruang seni bersama di Kebun Seni Bandung (2009), mendirikan Klab Budaya Menggambar (2010–2014), serta menjadi relawan di Museum KAA Gedung Merdeka, Bandung.
Sejak 2017, perjalanan seninya melintasi batas geografis dan kultural—dari Everest Base Camp di Pegunungan Himalaya, hingga ruang-ruang di Timur Tengah seperti Madinah, Mekah, dan Yerusalem; berlanjut ke Prancis, Danyang City di China, serta Thailand dan Vietnam. Tahun 2025, karya-karyanya kembali hadir di tanah air melalui pameran kolaborasi seni rupa dan musik bersama Titik Kumpul di Pendopo Wali Kota Bandung, pameran “Between The Line” di NBS Radio Bandung, hingga aksi seni solidaritas dalam Charity Concert Solidarity Unity for Sumatera & Aceh di Gelora Saparua.
Bagi berAnda Edos, seni rupa adalah perjalanan tanpa garis akhir—proses belajar yang terus berulang, upaya merawat kehidupan, dan cara menjaga nyala harapan. Dalam sunyi maupun riuh dunia, ia meyakini seni selalu memiliki daya untuk menyambungkan manusia dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas. Di sanalah seni menemukan maknanya: hidup, bernapas, dan menyapa kehidupan itu sendiri.

Penulis: Kin Sanubary | Editor: Oki Rosgani





