SUBANG, TINTAHIJAU.com – Kehidupan ini penuh dengan pelajaran yang berharga, salah satunya adalah nasihat bijak dari Ummul Mukminin Aisyah RA tentang salah satu penyakit yang dianggapnya paling buruk: kerasnya hati.
Nasihat ini tidak hanya memiliki akar dalam ajaran agama, tetapi juga terbukti dalam pengalaman nyata manusia. Dalam riwayat yang diambil dari karya Majdi Muhammad Asy-Syahawi dalam “Sakarat al-Maut, Wa’izhah al-Maut wa Syada ‘Iduhu,” kita mendapati kisah yang mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelenturan hati kita.
Kerasnya hati, seperti yang dijelaskan oleh Sayyidah Aisyah RA, adalah penyakit yang menghalangi kita untuk merasakan empati, kasih sayang, dan keterhubungan dengan sesama manusia.
Dalam dialog dengan seorang pria yang datang mencarinya untuk mencari obat untuk penyakit hatinya yang keras, Aisyah RA memberikan pandangan berharga. Ia menyarankan agar pria tersebut mengunjungi orang sakit, menghadiri jenazah, dan merenungkan kematian.
“Wahai Ummul Mukminin, aku punya suatu penyakit. Apakah engkau memiliki obatnya?”
Aisyah RA bertanya, “Apakah penyakitmu itu?”
Orang itu menjawab, “Kekerasan hati.”
Aisyah RA berkata, “Penyakitmu itu adalah penyakit yang paling buruk. Jenguklah orang-orang yang sedang sakit, layatlah jenazah, dan perkirakanlah datangnya kematian sudah dekat.”
Nasihat ini memberikan pelajaran bahwa koneksi dengan kehidupan dan kematian, serta sikap rendah hati, dapat membantu melunakkan hati yang keras.
Sebagai tambahan, Imam al-Ghazali dalam “Mukasyafatul Qulub” menyebutkan bahwa mengingat kematian adalah salah satu cara untuk melunakkan hati yang keras. Pesan ini juga tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA.
Ketika Shafiyyah mengeluhkan kerasnya hatinya kepada Aisyah RA, sang Ummul Mukminin memberi nasihat yang kuat: “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya hatimu akan lembut.” Pesan ini mengajarkan bahwa menyadari ketidakpastian hidup dan merenungkan akhir dari perjalanan ini dapat membantu kita mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama manusia.
Ibnul Jauzi dalam kitab Bustaan al-Waa’izhiin turut menukil riwayat Aisyah RA tersebut. Kemudian, ia memaparkan sebuah syair tentang nasihat kematian, yang berbunyi,
Siapa yang tahu bahwa maut adalah tangganya
Kuburan adalah rumahnya dan kebangkitan merupakan jalan keluarnya
Dan tahu bahwa ia akan disengat ular-ular
Pada hari kiamat atau api neraka akan membakarnya
Setiap sesuatu selain ketakwaan memiliki keburukan
Dan keburukan itu tidak membuatnya tegak berdiri
Kau lihat orang yang menjadikan dunia sebagai negerinya
Ia tidak tahu bahwa kematian akan mengagetkannya
Kerasnya Hati Disebabkan karena Keburukan
Dalam konteks yang lebih luas, kerasnya hati dikaitkan dengan keburukan dan penentangan terhadap ajaran Allah SWT. Dalam kitab “Quranic Healing” karya Ibnu Rusydi al-Maswani, dikemukakan bahwa hati yang keras seperti batu menggambarkan penolakan terhadap tanda-tanda Allah. Kehidupan dan alam semesta ini penuh dengan tanda-tanda kebesaran-Nya, tetapi hati yang keras tidak mampu merasakannya.
Penting untuk memahami bahwa ketika hati kita mengeras, kita kehilangan kedekatan dengan Tuhan dan kurang peka terhadap penderitaan sesama. Dalam Al-Qur’an, dalam surah Al-Baqarah ayat 74, Allah SWT mengingatkan kita tentang akibat kerasnya hati, bahwa hati yang keras seperti batu dapat menjadi sumber keterbelahan dan kekeringan, tidak mampu merasakan keindahan dan makna dalam hidup.
Allah SWT berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 74,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٧٤
Artinya: “Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar. Ada pula yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, dan ada lagi yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Nasihat-nasihat ini mengajarkan kita untuk merenungkan tentang kehidupan, kematian, dan pentingnya menjaga kelenturan hati. Kita harus senantiasa mengingatkan diri kita sendiri tentang keterbatasan kita sebagai manusia, dan bagaimana akhirat adalah tujuan akhir kita.
Dalam dunia yang sering kali keras dan tak kenal belas kasihan, mari kita jaga agar hati kita tetap lembut. Mari kita perbanyak amal baik, empati, dan pengertian terhadap sesama manusia.