SUBANG, TINTAHIJAU.com – ADA kegundahan yang muncul dalam pikiran sahabat saya, seorang jurnalis senior media bisnis di Jakarta. Kegundahan itu dia tumpahkan di status media sosialnya. Kegundahan soal situasi bangsa negeri ini, terkait syahwat kuasa yang semakin liar di ranah politik negeri kita. “Kita dipertontongkan dengan telanjang syahwat kuasa yang liar,” begitu ungkapnya.
Waktu zaman kuliah di Bandung dulu, dia sudah menjadi teman diskusi yang kritis baik di ruang kamar kosan hingga di ruang rapat organisasi kemahasiswaan ekstra kampus (masa Orde Baru). Kegundahannya sesuatu yang wajar, karena seolah membangkitkan kembali ruang-ruang kritis yang saat ini “dihantui” bayang-bayang dinasti “Orde Baru” rasa KW yang terbukti alergi pada kritik oposisi.
Setidaknya kegundahannya itu juga dirasakan saya sendiri,yang tetap menjaga nurani berpikir. Terlebih teman saya ini masih jurnalis aktif (dan saya mantan jurnalis), hal ini rasanya wajib dipertahankan. Itu tentu demi menjaga prinsip kebebasan kita sebagai manusia yang selalu menjaga nalar sehat dan berpikir kritis.
Syahwat kuasa yang liar itu, lanjutnya, tidak dimainkan sendiri. Tapi dilakukan secara berkumpul layaknya membentuk simbiosis mutualisme diantara mereka. Ada saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Bahkan hal itu dilakukan dengan berbagai dalih yang dibuat dan dibungkus dengan indah. Sungguh, syahwat kuasa ini yang membuat mereka seperti apa yang dikhawatirkan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” hingga akhirnya mengesampingkan etika politik yang ada.
Syahwat kuasa tak hanya telah membutakan diri mereka yang ada di lingkaran kekuasaan, tapi juga merembes ke bilik-bilik alat kekuasaan lainnya. Berbagai akal-akalan syahwat kuasa yang jauh dari nalar demokrasi bahkan ditunjukan dengan gamblang.
Lembaga-lembaga demokrasi pun “disusupi”. Legislatif dijadikan stempel mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang absurd dan jauh dari kepentingan rakyat. Bahkan, yang terakhir, lembaga yudikatif sekelas Mahkamah Konstitusi (MK) pun “dipepet” agar bisa memainkan ketukan palunya demi melanjutkan syahwat kuasanya. Meski MK menolak gugatan batasan usia capres dan cawapres minimal 40 tahun, tapi keputusan lanjutannya memberi embel-embel tambahan materi baru, yakni: setidaknya pernah menjadi atau sedang menjabat posisi kepala daerah maka diperkenankan mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Di benak publik, keputusan MK ini seakan memberi ruang bagi “putra mahkota” yang secara usia di bawah 40 tahun, namun karena saat ini menjabat sebagai kepala daerah maka masih berpeluanh maju sebagai capres/cawapres . Dengan kata lain, ada ruang dihadirkannya “dinasti politik” kekuasaan yang sedang dijalani.
Dengan memberi embel-embel materi (pasal) baru UU Pemilu dalam putusannya itu, lembaga MK telah keluar dari pemisahan kekuasaan Trias Politica Montesquie, sebab mengajukan pasal materi baru dalam suatu UU itu kewenangan legislatif.
Kondisi ini adalah cerminan betapa syahwat kuasa liar ini sedang dan terus dimainkan dengan berbagai cara dan pola yang sistematis. Tapi sayangnya, publik sudah bisa menerka arah dan tujuan syahwat itu dimainkan. Namun karena syahwat sudah semakin liar, rasa malu pada sorotan publik pun diabaikan.
Syahwat kuasa ini adalah refleksi dari kesalahan kita bersama yang terjebak “propaganda” bahwa calon penguasa dicitrakan sebagai sosok “sederhana”. Keterpesonaan itu ternyata menjadi jebakan yang membuat kita sulit keluar dari persepsi awal: kesederhanaan tak mungkin melahirkan syahwat kuasa liar.
Sahabat saya khawatir kondisi kita saat ini serasa ada dalam cerita mini serie berjudul “Rise of Evil”. Mini serie televisi yang disutradarai Christian Duguay itu menceritakan kehidupan Adolf Hitler dari masa kecilnya hingga menjadi pemimpin Nazi Jerman.
Keberhasilannya berkuasa hingga menjadi tokoh sentral Perang Dunia II tak terlepas dari orang-orang setia yang selalu memujanya. Mulai dari Anton Drexler (arsitek partai), Ernst Röhm, Joseph Goebbels (menteri propaganda), hingga Hermann Göring (membantunya membangun kekuatan militer Jerman).
Hitler muncul tidak begtu saja. Orang-orang di sekelilingnya telah mendorong Hitler dalam tampuk kekuasaan. Namun, pada kenyataannya orang-orang itu juga membantunya melakukan kekejaman yang ia lakukan. Bahkan mereka pun ikut berkubang di dalamnya dan menikmatinya. Di situlah mereka bermain, di situ pula mereka bersimbiosis satu sama lainnya.
Untung saja apa yang dikhawatirkan sahabat saya itu hanya ada dalam mini seri televisi. Rasanya menganalogikannya semua itu ke dalam ranah kehidupan politik kita terlalu jauh. Apa yang di dalam film itu adalah sebuah gambaran kuasa politik orang-orang berseragam militer. Tidak sama dengan di kita, pemimpin sipil yang tetap mengedepankan kebijakan politik demokrasi. Walau, itu pun tidak menjadi jaminan, karena syahwat kuasa itu bisa menular pada mereka yang lemah etika politiknya. Bahkan, tak sedikit syahwat kuasa penguasa sipil bisa membuatnya lebih berbahaya daripada penguasa militer. Wallahu’alam bisawab….
oleh Budi Setiawan:
Mantan jurnalis dan Alumnus FISIP Unpad. Kini penulis lepas di beberapa media online