SUBANG, TINTAHIJAU.com – Pulau Galang, yang saat ini menjadi sorotan sebagai usulan lokasi penampungan pengungsi Rohingya, memiliki sejarah yang kaya. Sebelumnya, pulau ini digunakan sebagai kamp pengungsi bagi warga Vietnam yang melarikan diri akibat Perang Saudara Vietnam pada tahun 1979.
Sejarah Pulau Galang dapat ditarik dari akar budaya dan peristiwa penting yang terjadi di pulau tersebut. Menurut cerita rakyat setempat, “Galang” memiliki arti “landasan” dan terkenal sebagai pulau dengan potensi kayu seraya. Kayu seraya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan perahu atau kapal berkualitas, memberikan identitas penting bagi pulau ini.
Pulau Galang dianggap sebagai tempat kelahiran “lancang” (bahtera raja) yang dianggap milik Sultan Malaka oleh masyarakat setempat. Penciptaan kapal ini menjadi asal-usul nama “Galang” sebagai toponimi pulau tersebut.
Pada masa lalu, Pulau Galang dan sekitarnya menjadi pusat konsentrasi lanun atau bajak laut dengan kekuatan luar biasa. Raja Kecil dari Pagaruyung adalah satu-satunya yang mampu mengalahkan mereka. Kisah ini diwariskan dalam cerita rakyat, di mana tujuh panglima galang, yang lahir dari tujuh perempuan hamil anak pertama, dipimpin oleh dendam karena ibu mereka dijadikan landasan “lancang.”
Selain dalam cerita rakyat, sejarah Pulau Galang juga mencatat bahwa pulau ini pernah menjadi tempat penyerangan lanun di perairan sekitarnya. Selama masa kolonial, pulau ini berada di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Pulau Galang termasuk dalam wilayah geografis Tanjungpinang. Namun, pada tahun 1992, Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1992 mengubah wilayah kerja Otorita Batam untuk mencakup Pulau Batam, Rempang, Galang, dan pulau-pulau sekitarnya (Barelang).
Pulau Batam, termasuk Pulau Galang, memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 26-34 derajat Celsius. Setelah perubahan wilayah pada tahun 1992, Pulau Galang tetap menjadi bagian integral dari kawasan Batam.
Namun, yang paling menonjol dari sejarah Pulau Galang adalah peran sebagai kamp pengungsi bagi warga Vietnam. Sekitar 250.000 pengungsi Vietnam tinggal di Pulau Galang sejak tahun 1979, menyusul Perang Saudara Vietnam atau Perang Indocina kedua. Fasilitas seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah dibangun untuk para pengungsi ini oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi PBB dan Pemerintah Indonesia.
Barak pengungsian dibagi menjadi enam zona, dan tempat ibadah seperti Vihara Quan Am Tu dan gereja-gereja didirikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual pengungsi. Pulau Galang juga memiliki penjara untuk pengungsi yang melakukan tindakan kriminal dan pemakaman Ngha Trang Grave yang menampung lebih dari 500 pengungsi Vietnam.
Program kamp pengungsian Vietnam di Pulau Galang berakhir pada 3 September 1996. Saat ini, bekas kamp pengungsian ini telah bertransformasi menjadi “Kampung Vietnam,” menjadi salah satu tempat wisata di Kota Batam yang menceritakan sejarah dramatis pulau ini.