Literasi

Majalah Mangle: Menghidupkan Kembali Warisan Pers Bahasa Sunda

×

Majalah Mangle: Menghidupkan Kembali Warisan Pers Bahasa Sunda

Sebarkan artikel ini

SUBANG, TINTAHIJAU.com – Menyambut Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari 2024, Tinta Hijau mempersembahkan sebuah artikel yang mengulas keberadaan sebuah majalah berbahasa Sunda yang telah bertahan hingga saat ini, yakni Majalah Mangle.

Majalah ini tidak hanya merupakan sebuah publikasi, tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya yang berharga dalam perkembangan pers di Indonesia.

Mangle, yang memiliki arti “ranggeuyan kembang” atau untaian bunga, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya literasi masyarakat Sunda sejak pertama kali terbit pada tanggal 21 November 1957 di Kota Bogor. Kemudian, perjalanan Mangle dilanjutkan dari Kota Bandung.

Para tokoh penting di balik terbitnya Majalah Mangle antara lain Oetoen Moechtar, E Rohamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Moechtar, dan Alibasah Kartapranata. Hingga saat ini, Mangle tetap menjadi satu-satunya majalah berbahasa Sunda yang masih aktif terbit dan beredar.

Sebagai salah satu media cetak berbahasa Sunda tertua yang masih bertahan, Mangle memegang peran penting dalam sejarah pers Sunda. Menurut redaktur Majalah Mangle, Abdullah Mustappa, sejumlah media cetak berbahasa Sunda pernah menghiasi dunia pers sebelumnya, seperti Sunda Almanak (1894), Panemu Guru (1906), dan lain sebagainya. Namun, selama masa penjajahan Jepang, media cetak berbahasa Sunda mengalami kemerosotan, bahkan tidak ada yang terbit selama pemerintahan Jepang berkuasa.

Pada saat penjajahan Jepang, media cetak berbahasa Sunda ikut terpuruk, media cetak Sunda tidak ada yang terbit ketika Jepang berkuasa. Pemerintahan militer Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda juga penggunaan Bahasa Sunda. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, media cetak Bahasa Sunda terbit kembali dan mengalami masa kejayaan pada era tahun 1950-1970-an.

Ada puluhan media cetak berbahasa Sunda yang terbit dan beredar diantaranya yaitu : Pajajaran (1949), Panghegar (1952), Warga (1954), Candra (1954), Kiwari (1957), Mangle (1957) Sari (1963) Sangkuriang (1964) Campaka (1965), Kutawaringin (1966), Baranangsiang (1966), Pelet (1966).

Setelah kemerdekaan Indonesia, media cetak berbahasa Sunda kembali bersemi dan mengalami masa keemasan pada era tahun 1950-1970-an. Berbagai majalah dan surat kabar berbahasa Sunda bermunculan.

Pada saat ini media cetak yang masih terbit yaitu Mangle dan Galura. Sebelumnya ada Cupumanik, Seni Budaya, Ujung Galuh, Sunda Midang, Bina Da’wah, Iber, Balebat, Hanjuang Bodas, Logay, Panggugah dan Sampurasun.

Majalah Mangle bukan hanya sekadar media cetak, tetapi juga menjadi wadah bagi para pengarang dan penulis Sunda terkenal. Di bawah redaksi MH Rustandi Kartakusumah dan Gondewa, Mangle melahirkan sejumlah tokoh sastra Sunda seperti Rahmat M Sas Karana, Tatang Sukanda, Us Tiarsa, dan lainnya. Bahkan, jumlah penjualan tertinggi Mangle mencapai 150 ribu eksemplar setiap bulannya pada tahun 70-an, menunjukkan popularitasnya di kalangan pembaca Sunda.

Melalui momentum peringatan Hari Pers Nasional, tulisan ini diharapkan dapat menghidupkan kembali semangat penerbitan berbahasa Sunda yang hampir punah.

Majalah Mangle menjadi bukti nyata bahwa keberadaan pers berbahasa daerah masih memiliki tempat yang penting dalam menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.

Semoga tulisan ini dapat membawa nostalgia kepada zaman keemasan media cetak Sunda sambil mengapresiasi perjuangan Majalah Mangle dalam menjaga warisan budaya dan bahasa.

Penulis bersama redaktur dan sesepuh Majalah Mangle Bp H Abdullah Mustappa.

Salam Literasi,
Kin Sanubary