LiterasiRagam

Mengenang Jejak Si Kuncung: Legenda Majalah Anak-anak Indonesia

×

Mengenang Jejak Si Kuncung: Legenda Majalah Anak-anak Indonesia

Sebarkan artikel ini

SUBANG, TINTAHIJAU.com – Kenangan indah masa kecil seringkali terhubung erat dengan ragam bacaan yang menghiasi hari-hari kita. Di antara deretan majalah anak-anak yang pernah berjaya, satu nama menonjol: Si Kuncung. Bersamaan dengan Bobo dan Kawanku, majalah ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan generasi Indonesia.

Si Kuncung bukan sekadar sebuah majalah anak-anak biasa. Dilahirkan di era kebebasan pers pada pertengahan tahun 1950-an, tepatnya pada tanggal 1 April 1956, oleh seorang tokoh pers ternama, Sudjati S.A., mantan wartawan surat kabar Asia Raja. Majalah ini segera mencuri hati anak-anak dengan konten-konten yang menyenangkan dan bermutu.

Sejak awal, Si Kuncung telah menampilkan logo yang menggemaskan: sekelompok anak-anak mengenakan topi kertas, membawa spanduk bertuliskan “Si Kuncung, Bacaan Sekolah Dasar”. Sentuhan lucu ini segera menciptakan daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Dengan harga yang terjangkau, hanya Rp 25 per eksemplar, majalah ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak di berbagai kalangan.

Keberhasilan Si Kuncung tak terbantahkan. Tiap nomor selalu laku keras, bahkan mencapai tiras hampir seperempat juta eksemplar tiap terbit menjelang tahun 1970. Majalah ini bukan hanya memberikan hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi munculnya berbagai majalah anak-anak lainnya.

Namun, seperti halnya dalam perjalanan hidup, Si Kuncung juga mengalami pasang surut. Perubahan situasi politik setelah Orde Baru resmi memerintah mengakibatkan perubahan besar bagi Si Kuncung.

Majalah ini mulai dilibatkan dalam proses pendidikan anak-anak dan diikutsertakan dalam program peningkatan mutu pendidikan melalui Instruksi Presiden tahun 1973.

Namun, relasi antara Si Kuncung dan pemerintah Orde Baru mengalami transformasi yang signifikan, menyebabkan intervensi dan dominasi atas kelangsungan penerbitannya melalui kontrol konten dan distribusi. Akibatnya, terjadi penurunan penjualan bagi Si Kuncung dan keterbatasan dalam mengikuti perubahan selera bacaan anak-anak.

Hal ini menyebabkan majalah ini akhirnya keluar dari pasar bacaan anak dan hanya tersedia di perpustakaan mulai tahun 1988, sebelum akhirnya berhenti terbit pada tahun 1997.

Meski demikian, intervensi ini tidak berlangsung tanpa konsekuensi. Penjualan Si Kuncung mulai menurun, terbatas dalam mengikuti selera bacaan anak-anak yang berubah. Akhirnya, majalah ini harus menyerah dan berhenti terbit pada tahun 1997 setelah sebelumnya hanya dapat ditemui di perpustakaan sejak tahun 1988.

Walau begitu, warisan Si Kuncung tetap menggelora dalam ingatan banyak orang. Sebagai majalah anak pertama yang bertahan lama dan memiliki penggemar setia, kenangan tentangnya tetap hidup dalam benak generasi yang pernah menikmati bacaan-bacaan ceria dan mendidik dari masa kecil mereka.

Dengan mengulik kembali kisah Si Kuncung, kita tidak hanya mengenang kenangan lama, tetapi juga menggali catatan perjalanan media anak-anak di Indonesia. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita untuk terus merawat dan mengembangkan tradisi literasi anak-anak di tanah air.