Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung adalah perwujudan dari desentralisasi politik. Sejak era reformasi telah dilakukan beberapa kali pilkada langsung. Demikian halnya di Kabupaten Subang dengan catatan pilkada pertama sejak era reformasi dilakukan melalui DPRD dengan mendudukan Eep Hidayat sebagai bupati Subang.
Pilkada kedua pasca reformasi di kabupaten Subang adalah tahun 2008, kala itu adalah pilkada langsung yang pertama kali di Subang. Eep yang sebelumnya berpasangan dengan Maman Yudia, tahun 2008 menggaet Ojang Sohandi. Namun duet ini tidak tamat karena Eep dinyatakan bersalah secara hukum. Ojang otomatis menggantikan posisi Bupati Subang. Sebagaimana diketahui,di pilkada selanjutnya Ojang menjadi pemenang dalam duetnya dengan Imas Aryumningsih. Lagi-lagi, Bupati Subang yang kala itu Ojang dinyatakan bersalah secara hukum hingga Wabup Imas berhak menggantikan posisi Ojang sebagai Bupati. Tradisi terhenti ketika dimasa pemerintahan transisinya Imas dinyatakan bersalah secara hukum sehingga Imas meskipun terlanjur lolos menjadi calon bupati 2018, suaranya masih kalah oleh pasangan H.Ruhimat – Agus Masykur (Jimat-Akur).
Pasca keterpilihan Jimat-Akur, publik seakan trauma sehingga pertanyaan yang kerap mengisi ruang-ruang publik adalah “kapan jimat terjerat KPK atau kapan Wabup Akur menggeser Jimat?” Bahkan lebih ekstrim, “Wabup Akur bodoh, tidak punya gairah politik(menjatuhkan Jimat)”.
Namun rupanya tuhan membimbing keduanya. Jimat berhasil menyelesaikan masa jabatannya, prediksi penghianatan Wabup Akur terhadap Jimat tidak terbukti. Perlahan keduanya merubah mitos yang berkembang: Bupati Subang akan jatuh dan wabupnya naik, berikutnya Wabup tersebut jadi pemenang pilkada.
Kepercayaan publik terhadap Pemerintahan kabupaten Subang yang selama itu hanya dianggap tempat pertarungan bupati dan wakilnya mulai tumbuh terlebih duet Jimat-Akur mampu memecahkan rekor predikat dari BPK, yang sejak lama tidak diraih pemkab Subang, yakni Opini keuangan WTP. Bukan ditahun pertama saja, Jimat didampingi Akur konsisten meraih opini WTP berturut-turut hingga ditahun terahir mereka menjabat. Topik perbincangan politik perlahan berubah, “Wabup Akur bisa kerja”.
Wakil bupati memang bukanlah eksekutor, bahkan dianggap ban “serep”. Namun demikian ada beberapa fungsi yang tidak bisa ditinggalkan. Hal yang sifatnya koordinatif, fasilitator, pembinaan, pengawasan, serta monitoring adalah tugas Wabup yang salah satu barometernya adalah predikat opini BPK. Wajar banyak kalangan Elit Subang tersenyum mengakui secara objektif kinerja Akur sebagai Wabup meskipun diantaranya masih tetap berpikir keruh; Wabup Akur bodoh tidak mampu menjerumuskan bupati.
Kini Subang kembali bersiap menghadapi pilkada. Para bakal calon sudah mulai bermunculan dan saat ini sedang lirik sana lirik sini untuk mencari pasangan atau wakil yang sehati. Dalam proses mencari wakil ini tentu saja mereka tidak sekedar melihat potensi politis (memperluas basis dukungan). Perlu diingat suatu saat wabup bisa bermanuver.
Ruhimat, Asep Rochman Dimyati (ARD), Aceng Kudus, Farah puteri Nahlia, Narca Sukanda, Reynaldi adalah nama-nama yang saat ini beredar dan memiliki potensi menjadi cabup. Mereka tentu saja jika menjadi cawabup tidak akan mau mengingat kapasitas dirinya dan posisi partainya masing-masing saat ini. Bila menang, syukur-syukur dilibatkan dalam pemerintahan, kebanyakan kurang diberi peran, bahkan dianggap “ban serep”.
Ruhimat adalah incumbent, ARD adalah rajanya ormas dan LSM Subang_tidak akan siap menjadi pengekor kebijakan bupatinya kelak karena belum tentu pro rakyat. ARD pun bernaung dibawah bendera NasDem dengan ketuanya politikus senior Subang (Eep) yang dikenal menyukai tantangan,memiliki kreatifitas dan imajinasi politik yang kuat. Sekelas Eep tidak mungkin mengusung “jagoannya” ditempat kedua. Terlalu mahal perjuangan Eep untuk mendapat sebutan master.
Farah adalah putri dari seorang perwira tinggi di kepolisian, kapasitasnya sebagai anggota DPR RI dan ketua DPD partai PAN Subang. Narca adalah ketua DPRD, menjadi wakil bupati tidak lebih “keren” dari posisinya saat ini,terlebih Narca berada di partai PDIP. Terlalu “cengeng” jika partai berlambang banteng ini harus menempatkan kadernya diposisi caWabup. Mesin politik PDIP Subang hingga saat ini masih teruji bagus. Reynaldi adalah anggota DPRD provinsi, kursi partainya adalah tertinggi pada pileg 2024 kemarin. DPP partainya (Golkar) tidak akan senang melihat kadernya hanya mampu sebatas menjadi cawabup dikontestasi Subang.
Apakah mungkin mereka yang tersebut di Atas menjadi calon bupati? Semua memiliki potensi menjadi cabup dan menang, tergantung pada mental bertanding dan kepercayaan diri, selanjutnya pengolahan konsep pemenangan dengan bab satu nya pemilihan partai koalisi. Bukan politikus jika tidak punya jiwa bertanding.
Di Pilkada 2024 ini penulis menyarankan sedari awal pencalonan, para kandidat beserta parpol pengusung harus saling mengenal karakter masing-masing dan memahami tugas atau wewenangan Bupati dan wakil Bupati. Dengan demikian harmonisasi terjaga sehingga tujuan dari pelaksanaan pilkada langsung yakni efisiensi dan efektifitas pemerintahan dapat tercapai demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
Taswa Witular (kang Away), penulis dikenal sebagai konsultan politik nasional






