Sejarah dan perkembangan konsep kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Dalam konteks Indonesia, perubahan konsep ini mengarah pada pembinaan terpidana dan peningkatan tata tertib dalam sistem pemasyarakatan.
Dalam artikel ini, penulis bertujuan untuk memberikan sebuah opini informasi dan wawasan tambahan tentang evolusi pemasyarakatan, serta untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap sistem pemasyarakatan. Dengan mengutip presiden Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” penulisan ini juga bertujuan sebagai pembelajaran sejarah bagi generasi penerus.
Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat dapat memperbaiki perspektif mereka terhadap pemasyarakatan, tidak lagi melihatnya sebagai konsep kepenjaraan.
Kepenjaraan Periode Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang
Pada periode kolonial Belanda, sistem kepenjaraan di Indonesia didasarkan pada hukum pidana yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Terdapat dua jenis hukum pidana yang berlaku, yaitu hukum pidana khusus bagi orang Indonesia dan hukum pidana khusus bagi orang Eropa. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang Pribumi di Hindia Belanda dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang Eropa menjadi landasan hukum dalam penjatuhan hukuman.
Pidana kerja paksa menjadi salah satu bentuk hukuman yang umum diterapkan pada masa itu, di mana terpidana harus melakukan kerja paksa dengan atau tanpa dirantai di luar wilayah tempat asal atau keputusan pengadilan. Pidana mati, pidana kerja, dan pidana denda juga merupakan jenis pidana yang dikenal pada periode tersebut.
Pada masa pendudukan pemerintahan Jepang perlakuan terhadap terpidana didasarkan pada prinsip rehabilitasi, namun dalam kenyataannya lebih cenderung eksploitasi terhadap manusia. Fokus utama pada periode ini adalah memperoleh hasil dari perusahaan penjara, terutama untuk keperluan perang.
Terpidana dikerahkan untuk berbagai pekerjaan, seperti pembuatan kapal perang dari kayu jati. Kondisi kesehatan terpidana sangat memprihatinkan, dengan banyak yang meninggal akibat penyakit seperti malaria. Kondisi makanan juga sangat menyedihkan. Periode ini menunjukkan bahwa kepenjaraan di bawah pemerintahan Jepang lebih menekankan pada eksploitasi tenaga kerja daripada rehabilitasi atau pembinaan terhadap narapidana.
Periode Kepenjaraan di Indonesia
Tahap awal era kepenjaraan Republik Indonesia berlangsung dari 1945 hingga 1948, di mana terjadi pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintah tentara Jepang oleh pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka. Pada periode ini, terbentuk dasar-dasar pokok pertama bagi penyusunan Jawatan Kepenjaraan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Surat edaran pertama dalam sejarah kepenjaraan Republik Indonesia dikeluarkan pada tanggal 10 Oktober 1945 oleh Menteri Kehakiman R.I, Prof. Mr. Dr. Soepomo, yang mengumumkan bahwa semua penjara di Indonesia telah dikuasai oleh Republik Indonesia. Selanjutnya, dikeluarkan surat edaran lain yang menyangkut tata perlakuan terhadap orang-orang terpenjara, dengan fokus pada pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pemberian pekerjaan yang bersifat mendidik, dan larangan diskriminasi.
Sistem kepenjaraan pada era kepenjaraan selanjutnya di Indonesia menunjukkan adaptasi terhadap perubahan politik dan struktural yang terjadi pada masa itu. Upaya untuk mengkoordinasikan kepenjaraan dalam konteks negara Republik Indonesia Serikat dan kemudian kembali ke negara kesatuan menunjukkan dinamika yang terjadi dalam pengelolaan sistem kepenjaraan di Indonesia pada periode tersebut.
Periode Pemasyarakatan Serta Budaya Organisasi di Indonesia
Istilah Pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Dr. SAHARDJO Menteri Kehakiman saat itu pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Dalam periode pemasyarakatan di Indonesia, budaya organisasi yang berkembang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan pembinaan.
Sistem pemasyarakatan menekankan pentingnya pembinaan dan pembelajaran bagi narapidana melalui program rehabilitasi, pelatihan keterampilan, pendidikan, dan pembinaan spiritual. Budaya organisasi juga menekankan perlakuan yang adil dan menghormati hak asasi manusia narapidana, serta memperhatikan kondisi sosial dan psikologis mereka. Kerjasama dan keterbukaan antara petugas pemasyarakatan, narapidana, dan pihak terkait menjadi nilai penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung proses rehabilitasi.
Penghargaan atas upaya dan prestasi narapidana dalam memperbaiki diri juga ditekankan sebagai bagian dari budaya organisasi, sementara pemantauan dan evaluasi program rehabilitasi dilakukan secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Melalui budaya organisasi yang mencakup nilai-nilai tersebut, sistem pemasyarakatan berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan positif narapidana dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat sebagai warga yang lebih baik.
Kesimpulan
Penulis menjelaskan bahwa awalnya dahulu sistem pemasyarakatan berasal dari kepenjaraan yang belum memenuhi hak asasi manusia terkhususnya narapidana. Dalam artikel tersebut, dijelaskan dengan jelas bagaimana terjadi transformasi dari sistem kepenjaraan menjadi pemasyarakatan yang fokus pada pembinaan narapidana.
Proses perubahan ini melalui perjalanan panjang yang melibatkan pemikiran dari para tokoh tokoh pemasyarakatan sebelumnya. Dan salah satu tujuan dari pemasyarakatan adalah Reintegrasi sosial bagi warga binaan agar dapat diterima Kembali oleh masyarakat
Sa’id Iqbal Al Hanif, Penulis adalah Politeknik Ilmu Pemasyarakatan