JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang dikenal sebagai revisi UU Pilkada.
RUU ini bertujuan untuk mengatur kembali mekanisme pemilihan kepala daerah, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota. Namun, proses pengesahan undang-undang ini menghadapi kendala serius dan akhirnya batal disahkan.
Berikut adalah kronologi peristiwa dan penolakan yang terjadi.
Kronologi Rapat Paripurna dan Kegagalan Pengesahan
Rapat paripurna DPR RI yang dijadwalkan untuk mengesahkan revisi UU Pilkada berlangsung pada Kamis, 22 Agustus 2024. Rapat dimulai pukul 09.30 WIB di ruang rapat paripurna Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memimpin rapat ini, didampingi oleh beberapa pimpinan DPR lainnya seperti Rachmat Gobel dari NasDem dan Lodewijk F Paulus dari Golkar. Dari jajaran pemerintah, hadir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas.
Namun, rapat ini mengalami hambatan karena tidak terpenuhinya syarat kuorum. Dasco Ahmad mengumumkan penundaan rapat selama 30 menit sesuai dengan aturan DPR. Sayangnya, hingga waktu yang ditentukan, jumlah anggota DPR yang hadir tetap tidak memenuhi kuorum. Dari 576 anggota DPR, hanya 89 yang hadir, sementara 87 lainnya izin. Akibatnya, rapat paripurna ditunda tanpa ada keputusan.
Penolakan dari Masyarakat dan Aksi Demonstrasi
Selain masalah kuorum, revisi UU Pilkada ini juga mendapatkan penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat. Sejumlah komika, aktor, buruh, dan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR.
Para komika dari komunitas StandupIndo, seperti Ari Kriting, Bintang Emon, dan Mamat Al Katiri, menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Mereka menilai bahwa DPR tidak lagi mewakili suara rakyat, melainkan kepentingan tertentu.
Aktor Reza Rahadian juga turut serta dalam aksi tersebut. Dalam orasinya, Reza menyatakan bahwa ia merasa tidak bisa lagi berdiam diri melihat situasi yang terjadi. Ia mengajak rakyat untuk bersatu dan mengawal agar revisi UU Pilkada tidak disahkan. Aksi demonstrasi ini berlangsung hingga sore hari, dan ketegangan sempat terjadi antara massa dan aparat kepolisian.
Batalnya Pengesahan dan Konsekuensinya
Pada akhirnya, Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan bahwa revisi UU Pilkada batal disahkan. Dengan demikian, seluruh poin perubahan dalam RUU tersebut otomatis batal, dan keputusan yang berlaku kembali ke putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70. Dasco menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga KPU akan menyesuaikan regulasi pemilihan kepala daerah berdasarkan putusan MK ini.
Batalnya pengesahan revisi UU Pilkada ini menandai kemenangan bagi kelompok yang menolak revisi tersebut. Mereka berharap bahwa keputusan ini akan menjaga agar proses demokrasi di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan keterwakilan rakyat.
Namun, tantangan ke depan tetap ada, khususnya dalam memastikan bahwa regulasi pemilihan kepala daerah dapat dijalankan dengan baik dan mencerminkan aspirasi seluruh elemen masyarakat.