Megapolitan

Sejarah Penggunaan Gelar ‘Gus’ yang Dinilai Netizen Tak Pantas Disandang oleh Gus Miftah

×

Sejarah Penggunaan Gelar ‘Gus’ yang Dinilai Netizen Tak Pantas Disandang oleh Gus Miftah

Sebarkan artikel ini
Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Gus Miftah menyampaikan keterangan pers di Ponpes Ora Aji, Purwomartani, Kalasan, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (6/12/2024). Sejarah sebutan Gus yang disandang Gus Miftah. [ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko]

JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Pendakwah ternama Gus Miftah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Keputusan ini diumumkan di kediamannya di Kalasan, Sleman, pada Jumat (6/12). Di tengah pengumuman tersebut, isu mengenai penggunaan gelar “Gus” yang disandangnya kembali menjadi perbincangan hangat.

Tak sedikit warganet yang meragukan atau berspekulasi tentang silsilah keturunan Gus Miftah, yang menjadi dasar gelar tersebut. Namun, Gus Miftah merespons santai isu ini, menyatakan bahwa persoalan tersebut sudah lama dibahas dan tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Penjelasan Silsilah Keturunan

Melansir dari Antara, Ketua PBNU Bidang Keagamaan Ahmad Fahrur memastikan bahwa Gus Miftah memiliki silsilah keturunan yang sah sebagai seorang ulama. Disebutkan, Gus Miftah merupakan keturunan kesembilan dari Kiai Muhammad Ageng Besari, pendiri Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur.

Kiai Muhammad Ageng Besari dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan pesantren di Nusantara. Pesantren Tegalsari, juga disebut Pesantren Gebang Tinatar, merupakan salah satu lembaga pendidikan agama tertua dan berpengaruh di Jawa.

Ayah Gus Miftah, M. Murodhi, adalah anak dari M. Boniran, yang juga merupakan bagian dari garis keturunan Kiai Ageng Besari. Dengan silsilah ini, Ahmad Fahrur menegaskan bahwa gelar “Gus” yang disandang Gus Miftah sesuai dengan tradisi dan fakta sejarah.

Makna dan Sejarah Gelar ‘Gus’

Dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan pesantren, panggilan “Gus” memiliki makna yang mendalam. Awalnya, gelar ini digunakan sebagai sapaan kehormatan bagi putra raja di lingkungan keraton Kesultanan Mataram Islam.

Menurut Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939), “Gus” berasal dari kata “Bagus,” yang berarti anak laki-laki dengan kedudukan tinggi. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh kalangan pesantren untuk menyapa putra kiai, mencerminkan harapan besar agar mereka melanjutkan peran ayahnya sebagai pemimpin spiritual.

Namun, “Gus” juga bisa diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan agama mendalam atau kontribusi besar bagi masyarakat, tidak semata-mata berdasarkan garis keturunan. Gus Kautsar, putra Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso, menekankan bahwa panggilan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa orang tua dan tanggung jawab moral untuk memantaskan diri dalam melayani masyarakat.

Semangat Gus Miftah untuk Berdakwah

Meskipun mundur dari jabatan kenegaraan, Gus Miftah menegaskan bahwa ia akan tetap berdakwah dan menyuarakan nilai-nilai toleransi. Keputusan ini tidak mengurangi semangatnya untuk mempromosikan harmoni antarumat beragama.

Sebagai seorang tokoh yang sering menjadi sorotan, Gus Miftah berharap pengunduran dirinya dapat menjadi momen refleksi bagi semua pihak untuk terus menjaga nilai-nilai kerukunan dan toleransi. Gelar “Gus” yang ia sandang pun diharapkan tetap dihormati sebagai simbol kepercayaan masyarakat terhadap peran yang diembannya.

Melalui langkah ini, Gus Miftah ingin menunjukkan bahwa tanggung jawab moral dan kontribusi nyata lebih penting daripada sekadar jabatan formal. Semangatnya untuk melanjutkan perjuangan dakwah diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat dalam menjaga harmoni di tengah keragaman bangsa.