SUBANG, TINTAHIJAUCOM- Mudik Lebaran adalah tradisi tahunan di Indonesia yang dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Momen ini biasanya paling dinantikan oleh para perantau untuk bisa bertemu kembali keluarga yang mungkin sudah lama tidak bersua.
Meski menghadapi tantangan seperti kepadatan lalu lintas dan harga tiket yang melonjak, para perantau tetap memiliki semangat untuk mudik Lebaran. Nyatanya, fenomena mudik bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Kegiatan mudik disebut sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, bercerita dulunya wilayah kekuasaan Majapahit begitu luas hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit pun menempatkan para pejabatnya di titik-titik kekuasaan mereka.
“Sampai pada suatu ketika, pejabat tersebut akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadapi raja dan mengunjungi kampung halaman,” ujar Silverio kepada Kompas.com, (21/4/2022).
Kebiasaan ini lantas dikaitkan dengan lahirnya fenomena mudik. “Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri,” kata dia.
Sementara itu, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Yuanda Zara, mengatakan tradisi mudik sudah ada sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu, sejumlah warga merantau ke Jakarta karena pembangunan terpusat di ibu kota.
Setelah beberapa tahun menetap, para pendatang rindu kampung halaman, sehingga muncul fenomena mudik massal para pekerja di Jakarta.
Pemerintah memberikan perhatian serius terhadap hal ini. Pada 1960an, jalur kereta api peninggalan kolonial dihidupkan kembali di seluruh wilayah untuk memudahkan warga pulang kampung.
Seiring waktu, mudik dilakukan dengan berbagai moda transportasi, seperti bus, kapal, dan pesawat. Pada 1980an, penggunaan kendaraan pribadi untuk mudik semakin meningkat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kemendikbud, kata “mudik” memiliki dua arti, yakni pulang ke kampung halaman, dan berlayar ke udik (hulu sungai, pedalaman). Namun, dalam perkembangannya, kata mudik mengalami perubahan makna.
Jika sebelumnya berarti pergi ke hulu sungai, mudik kini bermakna pergi ke kampung. Makna mudik kemudian tidak hanya terbatas pada kampung saja.
Kampung atau tempat asal menjadi bukan hanya merujuk pada wilayah kampung/desa, melainkan juga wilayah kota.
Dalam konteks kegiatan, mudik bisa dikatakan sebagai ajang silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Mudik juga menjadi simbol kemenangan setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Banyak orang merasakan kebahagiaan saat bertemu kembali dengan orang tua, saudara, dan teman-teman di kampung halaman.