BOGOR, TINTAHIJAU.com – Larangan operasional angkutan kota (angkot) selama libur Lebaran di jalur wisata Puncak, Bogor, tidak sepenuhnya dipatuhi oleh para sopir. Banyak dari mereka yang tetap mengaspal karena merasa kompensasi yang dijanjikan pemerintah tidak sesuai dengan yang diterima.
Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Bogor mengakui adanya laporan mengenai pemotongan kompensasi yang seharusnya diterima sopir angkot.
Kabid Lalu Lintas Dishub Kabupaten Bogor, Dadang Kosasih, membenarkan bahwa ada sopir angkot yang hanya menerima Rp 800 ribu dari kompensasi yang seharusnya berjumlah Rp 1,5 juta. “Banyak juga laporan seperti itu. Kami akan menelusuri siapa yang melakukan pemotongan ini. Yang jelas, seharusnya sopir menerima penuh Rp 1,5 juta,” ujar Dadang pada Rabu (3/4).
Kompensasi yang dijanjikan terdiri dari Rp 1 juta dalam bentuk uang tunai dan Rp 500 ribu dalam bentuk sembako, yang diberikan sebelum Lebaran. Total ada 653 sopir angkot dari tiga trayek utama, yaitu Cisarua-Bogor, Bogor-Pasirmuncang, dan Bogor-Cibedug, yang seharusnya menerima kompensasi tersebut.
Namun, keluhan mengenai pemotongan kompensasi juga muncul di media sosial, termasuk dalam unggahan Instagram Dedi Mulyadi. Beberapa warganet menyoroti adanya calo yang diduga memotong subsidi untuk sopir angkot.
Meski telah dilarang beroperasi, beberapa angkot masih terlihat di jalur wisata Puncak selama Lebaran. Sejumlah sopir mengaku tidak menerima kompensasi sehingga terpaksa tetap mengaspal untuk mencari nafkah. Seorang sopir bernama Dadang mengaku dirinya menyewa mobilnya untuk mengantar tetangga ke Cisarua.
“Nggak dapat (kompensasi). Pengen dapat, tapi nggak tahu peraturannya,” ujar Dadang.
Menurut pengakuan beberapa sopir, mereka masih beroperasi karena belum menerima kompensasi atau tidak terdaftar dalam daftar penerima subsidi. Hal ini menjadi salah satu alasan mereka tetap beroperasi meski dilarang.
Kebijakan penghentian sementara operasional angkot di Puncak selama Lebaran bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan mencegah kecelakaan akibat kepadatan kendaraan. Dedi Mulyadi menyatakan bahwa angkot yang ngetem dan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di bahu jalan merupakan faktor utama penyebab kemacetan di jalur tersebut.
Meski demikian, kebijakan ini memicu pro dan kontra. Beberapa pengguna jalan merasa arus lalu lintas menjadi lebih lancar, tetapi ada pula yang mengeluhkan masih terjebak macet di Puncak. Selain itu, warga yang bergantung pada angkot sebagai transportasi utama merasa dirugikan.
“Saya kerja jauh jadi harus jalan kaki karena nggak ada angkot,” kata salah satu warga di media sosial.
“Ada banyak penumpang terlantar. Mau naik ojek mahal, pesan Grab dicancel terus,” ujar warganet lainnya.
Kebijakan penghentian sementara operasional angkot di Puncak selama Lebaran yang bertujuan untuk mengurai kemacetan justru menimbulkan permasalahan baru. Dugaan pemotongan kompensasi membuat banyak sopir merasa dirugikan, sehingga mereka tetap beroperasi meskipun dilarang.
Selain itu, warga yang mengandalkan angkot sebagai transportasi utama juga mengalami kesulitan. Diperlukan pengawasan lebih ketat serta transparansi dalam penyaluran kompensasi agar kebijakan ini tidak merugikan pihak tertentu.