JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menerapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk dari Indonesia memunculkan berbagai tanggapan, baik dari tokoh nasional maupun pelaku industri dalam negeri. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, memberikan penilaian bahwa dampak kebijakan ini terhadap Indonesia tidak akan sebesar yang dikhawatirkan.
Menurut Jusuf Kalla, meskipun tarif dikenakan cukup tinggi, yaitu sebesar 32 persen, efek riil terhadap Indonesia hanya berkisar sekitar 10 persen. Bahkan, menurutnya, beban tersebut sebagian besar akan ditanggung oleh pengusaha dan konsumen di Amerika Serikat sendiri.
“Efeknya kira-kira 10%. Nah, siapa yang bayar 10% itu? Tentu yang bayar pengusaha dan konsumen Amerika,” jelas JK saat ditemui di Jakarta, Sabtu (5/4/2025), sebagaimana dikutip dari KompasTV.
Ia mencontohkan komoditas ekspor Indonesia seperti crude palm oil (CPO), komponen elektronik, dan komponen otomotif yang setelah diolah menjadi barang jadi di Amerika Serikat, nilainya akan berkali-kali lipat lebih mahal. Hal ini berarti, kendati ada kenaikan tarif, permintaan pasar AS terhadap produk-produk Indonesia tidak serta merta akan hilang. Produk seperti sabun, minyak goreng, pakaian, sepatu, dan suku cadang kendaraan masih akan tetap dibutuhkan.
“Tidak mungkin Amerika berhenti beli baju, sabun, sawit, sepatu, sparepart,” tegasnya.
Lebih jauh, Jusuf Kalla menilai bahwa dampak kebijakan ini justru akan lebih dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Dengan harga barang yang naik akibat beban tarif, daya beli masyarakat diprediksi akan terpengaruh. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut telah dirancang sedemikian rupa agar tidak terlalu mengguncang ekonomi Amerika.
“Tarif itu nantinya akan digunakan untuk dua hal: membayar utang dan mengurangi pajak. Jadi rakyat Amerika membeli barang lebih mahal, tapi pajaknya dikurangi. Ini semacam pengalihan beban,” ujar JK.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini lebih merupakan bentuk tekanan dalam konteks negosiasi dagang. Jusuf Kalla meyakini, kebijakan tarif tinggi ini tidak akan berlangsung lama karena tujuan utamanya adalah untuk menjaga daya saing Amerika dan mendorong negosiasi ulang dengan negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
“Iya, ini sebenarnya pressure untuk negosiasi. Sama seperti kalau Anda mau beli sesuatu, kasih dulu harga tinggi, baru tawar-menawar,” ujarnya.
Respon dari Dunia Usaha Indonesia
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga telah menyatakan kesiapannya untuk menindaklanjuti kebijakan ini melalui jalur diplomasi dagang. Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menyatakan bahwa pihaknya akan menjalin komunikasi dengan Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce) dalam waktu dekat.
“Awal Mei nanti, Kadin Indonesia akan ke AS untuk menindaklanjuti kerja sama dan menghadiri sejumlah konferensi bisnis dan ekonomi,” ungkap Anindya dalam siaran pers.
Menurutnya, Indonesia dan Amerika masih memiliki peluang besar untuk mempertahankan hubungan dagang yang saling menguntungkan.
Sementara itu, dari sektor industri alas kaki, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, juga menyuarakan pentingnya negosiasi dan perlunya diversifikasi pasar. Ia mendorong pemerintah untuk mempercepat penyelesaian perjanjian dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang selama ini terhambat.
“Dengan adanya kesepakatan IEU-CEPA, kita bisa mendapatkan akses pasar alternatif, terutama ke Eropa, dan mengurangi beban tarif untuk produk alas kaki Indonesia,” katanya.
Meski begitu, Eddy juga mengakui bahwa kebijakan tarif ini akan memberikan dampak yang cukup berat bagi pelaku industri persepatuan nasional. Pihaknya saat ini tengah melakukan kajian menyeluruh terhadap dampak kebijakan tersebut terhadap para anggotanya.