SUBANG, TINTAHIJAU.com — Ada suara-suara yang tidak ingin berteriak, tapi ingin dikenang. Ada kata-kata yang tidak lahir untuk ramai, melainkan untuk tinggal diam dalam dada yang paham. Di situlah Kionia berdiri—di antara puisi dan sunyi, menyulam rasa menjadi nada.
Bukan gemerlap panggung yang ia cari, bukan pula riuh tepuk tangan atau sorotan lampu yang memburu wajah. Kionia hanyalah perempuan biasa—bukan penyanyi, bukan pula selebritas. Tapi dalam sunyi yang mendalam, ia telah jatuh cinta pada kata-kata, pada detak hati yang mengalun lirih dalam bait-bait puisi.
Dari cinta itulah lahir “Sajak yang Hidup”, bukan sebagai suara yang menuntut didengar, tetapi sebagai bisikan lembut yang ingin dikenang. Lagu-lagu itu tak lahir dari ambisi, melainkan dari kebutuhan jiwa untuk menyimpan makna. Sebuah cara menyelamatkan rasa sebelum ia lenyap tertelan waktu. Seperti surat yang ditaruh dalam botol, dilepaskan ke samudra luas. Siapa yang membacanya nanti, siapa yang menemukannya, tak jadi soal. Yang penting, surat itu kini tak lagi tersembunyi.
Di balik setiap nada dan larik, Kionia menyelipkan seutas pesan: jangan biarkan rasa takut memadamkan cahaya yang ada di dalam diri kita. Dunia, katanya, kadang justru membutuhkan suara-suara yang gemetar, suara yang tak yakin pada dirinya sendiri. Sebab kejujuran—yang sering tersembunyi dalam keraguan—justru menjelma menjadi sesuatu yang paling menyentuh.
Merilis karya bukanlah tentang menjadi sorotan. Bagi Kionia, menyelesaikan satu lagu, merekamnya, dan membiarkannya hadir ke dunia, adalah bentuk keberanian. Mungkin kecil, tapi sungguh bermakna. Sebab berapa banyak orang yang menyimpan niat dalam diam, tapi tak pernah benar-benar melangkah?
Bersama para sahabat musiknya, Kionia menghidupkan sajak-sajaknya. Ada Oktav Mutter, sosok yang memayungi keseluruhan karya ini sebagai music director, mulai dari tahap rekaman, pengolahan suara, hingga proses akhir mixing dan mastering. Ia adalah tangan yang memastikan bahwa bisikan sunyi Kionia bisa terdengar jernih dan utuh.

Lalu Akbar Nendi, yang mengaransemen dua lagu: Pustaka Hidup dan Aku Pernah. Puisi Pustaka Hidup sendiri ditulis oleh Teh Nata Sofia pada tahun 1993, tepat di hari ulang tahunnya. Akbar menggubahnya dengan penuh kehati-hatian, melalui tiga hingga empat versi nada, sebelum akhirnya menemukan satu alur melodi yang seolah ditakdirkan menyatu.
Lagu Aku Pernah, karya asli Akbar yang lahir pada 2018, akhirnya bisa direkam dan disuarakan sekarang. Meski ditulis hanya dalam satu hari bersama nadanya, lagu ini menyimpan kehangatan yang telah lama menunggu waktu untuk diperdengarkan. Dalam prosesnya, Akbar melihat semangat menyala dari Teh Nata di ruang rekaman—penuh keyakinan, penuh getar hati.

Sementara itu, Ernan Rekyan hadir untuk memetakan komposisi musik Pustaka Hidup, dan memusikalisasi puisi Bandung Setelah Hujan. Sebuah kehormatan, menurutnya, bisa menggarap karya dari seorang penyiar legendaris kota Bandung. Untuk Bandung Setelah Hujan, ia mengusung nuansa musik Indonesia era 80-90-an, selaras dengan jiwa siaran “Indonesia Kemarin” yang dibawakan oleh Teh Nata. Lagu ini direkam secara penuh di ER’s-ware—studio pribadi Ernan yang menyimpan segala kerumitan dan kelembutan dalam satu ruang.

Ada pula Arief Siswanto, yang berduet dengan Nata Sofia dalam membawakan ulang lagu Stay A While milik The Bells. Lagu klasik yang mereka cintai bersama, dibawakan dengan kehangatan yang nyaris tak perlu pengulangan. Hanya sekali pengambilan vokal, dibantu petikan gitar oleh Akbar, dan lagu itu seolah menemukan napas barunya. Arief pun mengakui, Teh Nata begitu cepat menemukan rasa dalam lagu ini—membuat proses kolaborasi berjalan mulus tanpa perlu banyak arahan.
Semua lagu ini—empat buah karya yang kini telah dilepas ke dunia—mengalun dalam kesederhanaan namun penuh isi. Pustaka Hidup dalam dua versi (akustik dan orkestra), Aku Pernah, dan Stay A While telah resmi dirilis pada 28 April 2025 melalui berbagai platform digital musik: Spotify, Apple Music, Amazon Music, Tidal, Pandora, YouTube Music, serta kanal YouTube dan Instagram Kionia.
Kionia adalah suara dari Nata Sofia Rubianto, penyiar senior dari kota Bandung yang suaranya telah menemani ribuan pendengar. Kini, ia menyulam kata-katanya sendiri menjadi nada—membuat sajaknya berbunyi, dan hatinya bersuara.
Karya-karya ini mungkin tak langsung menggetarkan dunia. Tapi ia lahir dari keikhlasan, dari niat yang jujur. Dan itu cukup. Kadang, satu hati yang tersentuh adalah kemenangan yang sesungguhnya.
Karena bagi Kionia, tak semua lagu harus diteriakkan… kadang, cukup hanya terdengar oleh hati yang sedang sepi. Dan jika satu jiwa terselamatkan oleh sajak ini, maka sunyi itu tak pernah sia-sia.
Oleh: Kin Sanubary