JAKARTA, TINTAHIJAU.com – Fenomena kemarau basah yang tengah terjadi di berbagai wilayah Indonesia kini menjadi perhatian serius, terutama dalam kaitannya dengan ketahanan pangan nasional. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi ini dapat membawa dampak besar terhadap produktivitas pertanian, khususnya di wilayah sentra produksi seperti Jawa dan Nusa Tenggara.
Apa Itu Kemarau Basah?
Secara klimatologis, periode Mei hingga September merupakan musim kemarau di Indonesia, di mana curah hujan biasanya berada di bawah 50 mm per bulan. Namun, dalam kondisi kemarau basah, hujan tetap turun dengan intensitas tinggi, bahkan bisa mencapai lebih dari 100 mm per bulan.
Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kemarau basah dipicu oleh berbagai faktor atmosfer dan oseanografi. “Fenomena ini biasanya disebabkan oleh suhu muka laut yang tetap hangat di sekitar Indonesia, pengaruh La Nina, serta gangguan atmosfer seperti MJO (Madden-Julian Oscillation), IOD negatif, dan gelombang ekuator,” ujarnya.
Fenomena kemarau basah bukanlah hal baru. BMKG mencatat bahwa kondisi serupa pernah terjadi pada tahun 2010, 2013, 2016, 2020, 2023, dan kini kembali terdeteksi pada tahun 2025.
Dampak Langsung pada Lahan Pertanian
Curah hujan yang tinggi di musim kemarau memberikan dampak langsung pada proses budidaya tanaman. Genangan air yang berkepanjangan di lahan menyebabkan gangguan pada pengolahan tanah, keterlambatan waktu tanam, dan penurunan efektivitas pemupukan akibat pencucian unsur hara oleh air hujan.
Kondisi lembap yang berkepanjangan juga mendorong peningkatan populasi hama seperti ulat grayak dan wereng, serta penyakit tanaman seperti busuk batang dan antraknosa. Hal ini tidak hanya menurunkan hasil panen, tetapi juga memaksa petani untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk pestisida dan pemupukan ulang.
“Hujan yang tak menentu membuat pestisida dan pupuk kurang efektif. Akibatnya, biaya produksi meningkat, sementara hasil panen belum tentu sesuai harapan,” jelas Guswanto.
Contoh nyata dari dampak kemarau basah terlihat pada Juli–Agustus 2023, ketika curah hujan mencapai 120–180 mm di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Grobogan, Klaten, dan Sragen. Padahal, seharusnya hujan pada periode itu kurang dari 50 mm. Kondisi ini mengganggu masa tanam kedua padi gogo dan jagung, serta memicu serangan penyakit hawar daun.
Potensi Terulang di Tahun 2025
Tahun ini, BMKG kembali mendeteksi tanda-tanda kemarau basah akibat suhu muka laut yang masih hangat di selatan Indonesia serta pengaruh dari sistem atmosfer seperti MJO, gelombang Kelvin, dan Rossby. Hal ini meningkatkan potensi hujan tinggi di tengah musim kemarau, yang dapat kembali mengganggu produksi padi, jagung, dan hortikultura.
Guswanto mengingatkan bahwa risiko terhadap sektor pertanian semakin nyata dan perlu diantisipasi secara serius. “Pola tanam dan panen berisiko terganggu, ditambah meningkatnya serangan hama dan penyakit akibat kelembapan tinggi,” ujarnya.
Langkah Antisipatif yang Disarankan
Sebagai langkah pencegahan, BMKG mendorong pemerintah daerah dan petani untuk:
- Menyesuaikan kalender tanam sesuai prakiraan cuaca terkini.
- Memilih varietas tanaman yang tahan terhadap kelembapan tinggi.
- Meningkatkan sistem drainase agar air tidak tergenang dan dapat mengalir dengan baik.
- Melakukan pengelolaan air mikro yang efisien untuk mencegah kerusakan pada tanaman.
“Ini penting agar petani tidak mengalami gagal panen akibat curah hujan tinggi di luar musim normal,” tegas Guswanto.
Fenomena kemarau basah adalah tantangan nyata yang harus dihadapi dengan perencanaan matang dan kerja sama lintas sektor. Ketahanan pangan nasional bisa terdampak jika pola tanam tidak disesuaikan dengan kondisi iklim yang berubah. Peran aktif pemerintah daerah, petani, serta dukungan dari lembaga seperti BMKG menjadi kunci untuk menjaga produktivitas pertanian Indonesia di tengah ketidakpastian cuaca.



