BEKASI, TINTAHIJAU.com – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi secara terbuka menyampaikan protes terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah secara sukarela kepada seluruh siswa, tanpa memandang status keuangan atau kewajiban administrasi yang belum diselesaikan.
Protes tersebut disampaikan dalam forum audiensi di Kantor DPRD Jawa Barat yang melibatkan berbagai unsur seperti PCNU, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta perwakilan sejumlah pesantren di Kabupaten Bekasi.
Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, Atok Romli Mustofa, menyebut kebijakan tersebut tidak adil, bahkan dinilai sebagai bentuk kezaliman terhadap lembaga pendidikan pesantren. “Kebijakan ini sangat disayangkan karena tidak berpihak kepada pesantren dan dilakukan tanpa kajian yang matang. Ini justru menimbulkan keresahan di kalangan pesantren,” ujar Atok, Rabu (21/5).
Ia menilai kebijakan tersebut lahir dari intuisi pribadi Gubernur dan tidak melalui proses yang partisipatif. Bahkan, terdapat ancaman bagi sekolah atau pesantren yang menolak kebijakan tersebut, termasuk pencabutan program Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dan izin operasional.
Kritik juga datang dari pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, Kholid, yang menyoroti dampak finansial dari kebijakan ini. Ia menyebut banyak pesantren sudah mengeluarkan dana besar, bahkan hingga miliaran rupiah, untuk mendanai kegiatan pendidikan tanpa subsidi dari pemerintah. “Jika alumni datang menuntut ijazah sementara kewajiban finansialnya belum dipenuhi, tentu ini akan mengganggu operasional pesantren,” tegasnya.
Kholid menambahkan, dalam jangka panjang, kebijakan tersebut dapat merusak tatanan nilai di pesantren, seperti adab dan takdzim santri kepada guru. “Pemerintah seolah mengadu domba santri dengan pesantren. Ini berbahaya bagi masa depan akhlak generasi muda,” tambahnya.
Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, M. Syauqi, juga menyatakan bahwa kebijakan ini tidak inklusif karena tidak melibatkan pemangku kepentingan pendidikan swasta, termasuk pesantren. Ia menegaskan, peran pesantren dan sekolah swasta sangat vital karena pemerintah hanya mampu menampung sekitar 25–35 persen kebutuhan pendidikan melalui sekolah negeri.
“Kami meminta Gubernur untuk mengevaluasi kebijakan ini dan mempertimbangkan pengecualian khusus untuk pesantren. Solusi konkret sangat dibutuhkan untuk menghindari dampak lebih luas terhadap dunia pendidikan,” ujarnya.
Di sisi lain, Gubernur Dedi Mulyadi beralasan bahwa penyerahan ijazah secara sukarela adalah bentuk perlindungan hak siswa atas masa depan mereka. Ia menilai ijazah merupakan dokumen penting untuk keberlanjutan pendidikan maupun karier, dan tidak seharusnya dijadikan alat tekanan akibat tunggakan biaya.
Dedi menegaskan, jika ada tunggakan, sekolah dapat mendata dan mengoordinasikan dengan tim yang ditunjuk pemerintah. Ia berharap tidak ada lagi siswa yang terhalang mengakses ijazah hanya karena masalah keuangan.
Namun, polemik ini mencerminkan kebutuhan akan dialog lebih dalam dan kebijakan yang adil serta inklusif, khususnya dalam konteks keberagaman sistem pendidikan di Indonesia.