Praktisi Hukum Majalengka Kritik Wacana Gubernur Jabar Soal Restorative Justice dan Barak Militer

Majalengka, TINTAHIJAU.COM – Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait pendekatan restorative justice bagi pelaku pencurian dengan nilai kerugian di bawah Rp10 juta, menuai tanggapan kritis dari praktisi hukum asal Majalengka, Indra Sudrajat.

Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi mengusulkan agar para pelaku pencurian tersebut tidak diproses secara pidana biasa, melainkan diarahkan ke barak militer untuk pembinaan.

Wacana ini disampaikan Dedi saat menghadiri pengukuhan pengurus masyarakat adat budaya Danghyang Rundayan Talaga di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, belum lama ini.

Menanggapi hal tersebut, Indra menilai gagasan itu masih sebatas wacana karena belum didukung oleh regulasi yang berlaku.

Ia menjelaskan bahwa pendekatan restorative justice memang sudah dikenal dalam sistem hukum Indonesia, terutama untuk kasus-kasus dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun.

“Restorative justice itu adalah pengembalian ke keadaan semula dan sudah lama dikenal dalam sistem hukum kita,” kata Indra saat ditemui di kantornya, Jumat (30/5/2025).

Ia menambahkan, pendekatan serupa bahkan bisa diterapkan dalam kasus yang lebih berat, tergantung pada konteksnya.

Namun, menurut Indra, ide mengarahkan pelaku ke barak militer belum memiliki dasar hukum yang jelas.

“Kalau ini hanya wacana, silakan. Tapi kita harus tanya, ini bagian dari ius constitutum atau ius constituendum? Kalau mau dijalankan hari ini, jelas belum bisa,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa seorang gubernur adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Karena itu, setiap kebijakan harus mengacu pada aturan nasional yang berlaku.

“Gubernur tidak bisa bertindak di luar kebijakan nasional. Kalau ingin ada reformasi hukum, harus lewat jalur resmi, misalnya melalui DPR untuk dimasukkan ke dalam revisi peraturan perundang-undangan,” tegasnya.

Indra menekankan pentingnya konsistensi antara gagasan dan pelaksanaan. Jika hanya sebatas pernyataan tanpa langkah konkret, menurutnya, itu hanya akan dianggap sebagai pencitraan.

“Kalau hanya melempar wacana ke publik tanpa ada aksi nyata, apa bedanya dengan LSM atau pengamat? Gubernur punya kekuasaan, dan seharusnya digunakan untuk mengeksekusi kebijakan,” tuturnya.

Meski demikian, Indra mengapresiasi ide Dedi mengenai pembinaan disiplin melalui pendekatan militer.

Ia menyarankan agar wacana tersebut didorong melalui pembentukan regulasi yang relevan, termasuk dalam konteks pendidikan karakter sejak usia dini.

“Saya sepakat soal pola wajib militer karena bisa membentuk kedisiplinan. Tapi semua harus diatur lewat regulasi. Ini negara hukum, tidak bisa asal jalan,” ucapnya.

Indra juga menyoroti sistem pendidikan nasional yang dinilainya terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan pembangunan karakter dan akhlak.

“Gagasan Pak Dedi membangun akhlak itu baik, tapi tidak bisa instan. Perlu reformasi sistem pendidikan dari usia dini,” pungkasnya.