Ragam  

Tugu Tani Subang: Simbol Perjuangan dan Harapan Petani di Tengah Perubahan Zaman

SUBANG, TINTAHIJAU.COM — Di tengah pesatnya perkembangan kota Subang, ada sebuah monumen yang berdiri dengan teguh, menjadi pengingat bagi warga dan pengunjung tentang perjuangan serta kontribusi besar para petani dalam membangun daerah ini.

 Tugu Tani, yang terletak di kawasan Karanganyar, Kecamatan Subang, merupakan salah satu ikon kota yang menggambarkan nilai-nilai ketekunan, pengorbanan, dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Subang.

Tugu ini bukan hanya sebuah patung atau tugu biasa. Dibangun pada tahun 1980-an, Tugu Tani menggambarkan sosok seorang petani yang memegang alat pertanian tradisional, lengkap dengan pakaian khas petani yang terbuat dari kain yang biasa dipakai untuk bekerja di ladang.

Tugu ini menyimbolkan kehidupan sehari-hari petani Subang yang telah lama berjuang di tengah kerasnya tanah pertanian, di bawah teriknya matahari, demi mencukupi kebutuhan pangan bagi masyarakat.

Menurut beberapa sumber sejarah setempat, pembangunan Tugu Tani dimaksudkan untuk menghargai jasa para petani yang telah menjadi tulang punggung perekonomian daerah ini. Subang, yang terkenal dengan hasil pertaniannya seperti padi, jagung, dan aneka sayuran, memang tak bisa dilepaskan dari perjuangan para petani yang dengan tekun mengolah tanahnya selama bertahun-tahun.

Seiring berjalannya waktu, Tugu Tani bukan hanya menjadi simbol penghormatan terhadap para petani, namun juga menjadi saksi bisu dari perubahan zaman yang terus berjalan. Meskipun Subang mulai berkembang dengan banyaknya kawasan industri dan perkembangan sektor pariwisata, keberadaan tugu ini tetap menjadi pengingat bahwa tanah dan pertanian adalah fondasi yang masih kokoh menyokong keberlanjutan kota ini.

Subang dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Jawa Barat. Dengan tanah yang subur dan sistem irigasi yang terus dibenahi, pertanian menjadi tulang punggung perekonomian daerah ini selama beberapa dekade. Tak heran, tugu ini menjadi kebanggaan warga.

Agus Santoso (55), petani asal Pagaden, mengenang masa-masa di mana hasil panen bisa mencukupi biaya sekolah anak-anaknya. > “Tugu Tani itu pengingat buat kita semua. Kita ini dibesarkan dari sawah. Anak-anak saya bisa sekolah, bisa jadi orang, semua dari hasil tani,” ujarnya

Namun, seiring waktu, banyak anak muda yang beralih profesi. Industri menawarkan upah yang lebih pasti dan gaya hidup yang dianggap lebih modern. Bagi sebagian orang, bertani kini dianggap pilihan terakhir.

Menanggapi dinamika tersebut, Bupati Subang, Reynaldy Putra Andita, menyatakan bahwa Subang saat ini memang tengah berada dalam fase transisi: dari daerah agraris menuju kawasan industri modern.

Namun, Kang Rey — sapaan akrabnya — menegaskan bahwa sektor pertanian tidak akan ditinggalkan.

> “Pertanian tetap menjadi prioritas utama. Saat ini, luas lahan pertanian di Subang mencapai 66.000 hektare, dan target kami memperluasnya menjadi 92.000 hektare,” jelasnya.

Ia ingin agar Subang tidak hanya menjadi kawasan industri, tetapi juga tetap menjadi lumbung padi utama di Jawa Barat dan nasional.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten Subang sedang bergerak cepat untuk menyelesaikan penataan ruang wilayah.

“Kami akan menyelesaikan RTRW Kabupaten Subang agar zona industri dan pertanian dapat terakomodasi dengan baik,” tegas Kang Rey.

Langkah ini diyakini akan menjaga keseimbangan pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan jangka panjang.

> “Kami ingin anak-anak muda tetap bisa melihat pertanian sebagai masa depan, bukan masa lalu,” imbuhnya.

Bagi warga Subang, Tugu Tani adalah lebih dari sekadar monumen fisik. Ia adalah simbol kebanggaan dan penghormatan terhadap petani yang tak kenal lelah dan penuh dedikasi. Masyarakat Subang melihatnya sebagai wujud rasa terima kasih kepada mereka yang telah bekerja keras untuk memastikan kebutuhan pangan masyarakat tetap tercukupi.

Di setiap ujung jalan yang mengarah ke pusat kota, kita bisa melihat petani yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari mereka: menanam, merawat tanaman, hingga memanen hasil bumi yang mereka usahakan. Meski kini banyak yang memilih untuk bekerja di sektor industri atau merantau ke kota besar, namun mereka tetap membawa serta tradisi bertani yang sudah ada sejak nenek moyang.

Tugu Tani juga menjadi titik temu banyak warga Subang yang ingin beristirahat sejenak atau sekadar berbicara tentang masa depan daerah ini. Banyak pula yang datang hanya untuk melihat tugu ini, mengenang betapa pentingnya kontribusi para petani dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, di balik kisah tentang kejayaan para petani, ada tantangan besar yang dihadapi oleh sektor pertanian saat ini. Salah satunya adalah perubahan iklim yang mulai dirasakan oleh para petani di Subang. Curah hujan yang tidak menentu dan musim kemarau yang semakin panjang membuat hasil panen terkadang tidak maksimal.

“Kita harus terus menjaga tradisi pertanian ini. Tugu Tani bukan hanya simbol, tapi pengingat agar kita tidak melupakan akar budaya kita. Pertanian adalah mata pencaharian yang sangat penting, dan meski zaman berubah, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang sudah ada,” tambah Agus.

Dengan segala perubahannya, Tugu Tani tetap berdiri tegak di tengah kota Subang. Ia bukan hanya sebuah patung, tetapi juga simbol yang menyatukan masa lalu dan masa depan. Sebagai bagian dari sejarah Subang, Tugu Tani terus mengingatkan bahwa meskipun zaman terus berkembang, kita tidak boleh melupakan perjuangan para petani yang telah membentuk Subang menjadi kota yang makmur.

Seiring dengan berkembangnya sektor industri dan pariwisata, mari kita ingat bahwa di balik meja kantor dan pabrik yang menjulang tinggi, ada tangan-tangan petani yang bekerja keras di ladang, menjaga ketahanan pangan, dan merawat bumi yang memberi kehidupan.

Tugu Tani adalah peringatan bahwa kita harus terus menjaga dan menghargai nilai-nilai pertanian, karena tanpa mereka, kita tak akan bisa menikmati keberagaman pangan yang ada di meja makan kita setiap hari.