OPINI: Mewaspadai Komersialisasi Ibadah, Sebuah Pelajaran dari Haji Furoda

Musim haji tahun 2025 diwarnai dengan polemik besar terkait batalnya keberangkatan ratusan atau bahkan ribuan calon jamaah haji furoda asal Indonesia. Penyebab utamanya adalah tidak diterbitkannya visa oleh Pemerintah Arab Saudi, yang berdampak pada kerugian finansial besar dan kekecewaan mendalam di kalangan calon jamaah haji. Fenomena ini membuka tabir persoalan mendasar: komersialisasi ibadah haji melalui jalur furoda yang minim regulasi dan pengawasan.

Haji furoda adalah program haji nonkuota yang visanya langsung diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi tanpa melalui alokasi resmi pemerintah Indonesia. Program ini biasanya ditawarkan oleh penyelenggara perjalanan ibadah haji (PIHK) swasta dengan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan haji reguler, namun dengan iming-iming keberangkatan cepat tanpa antrean panjang.

Namun, jalur ini memiliki risiko tinggi karena tidak adanya kepastian kuota dan visa yang
sepenuhnya bergantung pada kebijakan Arab Saudi. Pada tahun 2025, Pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk tidak menerbitkan visa haji furoda, yang menyebabkan ribuan calon jamaah gagal berangkat dan travel swasta mengalami kerugian besar.

Keputusan Pemerintah Arab Saudi untuk tidak menerbitkan visa haji furoda tahun ini didasarkan pada beberapa pertimbangan:

  1. Perbaikan Sistem Haji 2025: Arab Saudi sedang membangun skema penyelenggaraan haji
    yang ideal, termasuk penerapan sistem syarikah dan digitalisasi sistem untuk mengatur
    pelaksanaan haji dan umrah.
  2. Mencegah Overkapasitas: Otoritas Saudi tidak ingin mengulangi kejadian wafatnya ribuan
    jamaah haji di Mina karena suhu sangat panas dan terlalu padat. Sebanyak 85% jamaah yang
    meninggal berasal dari kelompok haji nonprosedur/nonkuota karena tidak memiliki tempat atau tenda untuk berteduh. (detikTravel)
  3. Kewenangan Penuh Arab Saudi: Jumlah dan pembagian kuota haji furoda sepenuhnya di
    bawah kewenangan Kerajaan Arab Saudi, sehingga Indonesia tidak memiliki kewenangan
    untuk mengatur jumlah maupun distribusinya .(Bisnis.com)

Akibat tidak diterbitkannya visa haji furoda, kerugian finansial ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Hampir seluruh penyelenggara haji furoda telah melakukan transaksi untuk pemesanan tiket dan hotel jamaah dengan estimasi 3.000 – 5.000 dollar Amerika Serikat per calon jamaah. Dengan estimasi 5.000 jamaah haji furoda, kerugian total mencapai Rp 240 miliar hingga Rp 405 miliar. (KOMPAS.com)

Selain kerugian finansial, kekecewaan mendalam dirasakan oleh calon jamaah yang telah mempersiapkan diri secara spiritual dan finansial untuk menunaikan ibadah haji. Beberapa di antaranya bahkan telah berada di Arab Saudi, seperti yang dialami oleh selebritas Ivan Gunawan yang akhirnya batal berangkat karena visa tidak kunjung terbit .(liputan6.com)

Fenomena haji furoda mencerminkan komersialisasi ibadah yang semakin mengkhawatirkan.

Ibadah haji, yang seharusnya menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, justru menjadi ladang bisnis yang menggiurkan bagi penyelenggara perjalanan. Dari perspektif fikih muamalah, penyelenggaraan haji yang dikomersialkan berlebihan dapat masuk ke wilayah gharar (ketidakjelasan) dan bahkan taghrir (penyesatan) jika tidak disertai transparansi, legalitas, dan keadilan.

Komersialisasi ini tidak hanya mencederai nilai-nilai spiritual ibadah haji, tetapi juga membuka peluang terjadinya penipuan dan penyalahgunaan kepercayaan. Banyak calon jamaah tergiur oleh promosi yang masif tanpa memahami potensi risikonya.

Meskipun visa haji furoda sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah Arab Saudi, pemerintah Indonesia tetap memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya dari potensi kerugian dan penipuan. Pemerintah diminta untuk memperketat aturan terkait haji furoda dan menindak agen perjalanan yang masih menawarkan program ini tanpa dasar visa resmi.

Selain itu, perlu ada edukasi kepada masyarakat mengenai risiko dan ketidakpastian jalur haji furoda. Transparansi informasi dan pengawasan ketat terhadap penyelenggara perjalanan ibadah haji menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk merefleksikan kembali makna ibadah haji dan menjauhkan diri dari praktik komersialisasi yang berlebihan. Ibadah haji bukanlah sekadar status sosial atau prestise, melainkan panggilan spiritual yang memerlukan kesabaran, keikhlasan, dan ketundukan kepada kehendak Allah.

Bagi calon jamaah, penting untuk memahami bahwa jalan pintas tidak selalu membawa
kebaikan. Menunggu antrean haji reguler mungkin memerlukan waktu yang lama, namun memberikan kepastian dan keamanan yang lebih tinggi.

Bagi penyelenggara perjalanan, integritas dan tanggung jawab moral harus menjadi landasan utama dalam menawarkan layanan ibadah. Keuntungan finansial tidak boleh mengalahkan nilai-nilai kejujuran dan kepedulian terhadap jamaah .

Polemik visa haji furoda tahun 2025 menjadi pelajaran berharga tentang bahaya komersialisasi ibadah yang tidak terkendali. Diperlukan sinergi antara pemerintah, penyelenggara perjalanan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa ibadah haji tetap menjadi sarana spiritual yang murni, bebas dari praktik bisnis yang merugikan.

Semoga kejadian ini menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan ibadah haji dan menjaga kesucian ibadah dari kepentingan duniawi.

Idi Darusman, S.H.I., M.Pd, Penulis adalah Pendidik di Darunnajah Jakarta