Dalam sejarah para nabi, salah satu figur yang paling kuat menggambarkan nilai ikhlas adalah Kanjeng Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau dikenal sebagai Khalilullah (kekasih Allah), bukan semata karena ketaatannya, tetapi karena ketulusan niat dan pengorbanan yang luar biasa dalam menjalankan perintah Allah.
Salah satu episode yang paling menggetarkan dari kisah hidupnya adalah ketika beliau diperintahkan untuk menyembelih putranya yang sangat dicintai, Nabi Ismail ‘alaihissalam.
Perintah itu datang melalui mimpi yang diyakini Nabi Ibrahim sebagai wahyu dari Allah. Meski berat, tidak sedikit pun beliau menolak. Bahkan yang mengharukan, sang anak, Nabi Ismail, juga menerima dengan lapang dada, karena keduanya sama-sama yakin bahwa apa yang diperintahkan Allah pasti mengandung kebaikan.
Allah mengabadikan peristiwa itu dalam Al-Qur’an:
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Ash-Shaffat: 103–105)
Peristiwa ini menjadi simbol ketaatan dan keikhlasan sejati: meninggalkan keinginan pribadi demi memenuhi perintah Ilahi. Dari sinilah kita belajar bahwa ikhlas bukan sekadar kata, tapi adalah pengorbanan dan ketundukan total kepada kehendak Allah.
- Ikhlas dalam Menjalankan Perintah Allah (Hablumminallah)
Ikhlas secara bahasa berarti bersih dan murni, dan secara syar’i bermakna menjalankan amal ibadah semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji, dihormati, atau memperoleh keuntungan duniawi.
Nabi Ibrahim memberi teladan tertinggi tentang keikhlasan dalam beribadah. Ia tidak menawar perintah Allah, tidak mencari celah untuk menghindar, dan tidak meminta imbalan apa pun atas pengorbanannya. Ini adalah contoh paling kuat tentang hablumminallah—hubungan yang lurus dan total antara seorang hamba dengan Rabb-nya.
Dalam hadits Rasulullah ﷺ disebutkan:
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan untuk mencari wajah-Nya.”
(HR. Nasa’i)
Amal, meskipun besar dan mengesankan di mata manusia, tidak akan bernilai di sisi Allah jika tidak dilandasi keikhlasan. Maka, setiap muslim dituntut untuk menjaga niat dalam ibadah, seperti shalat, puasa, sedekah, bahkan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
- Ikhlas Memberi dan Ikhlas Melihat Orang Lain Memiliki (Hablumminannas)
Ikhlas tidak berhenti pada urusan vertikal (hablumminallah), tetapi juga terwujud dalam hubungan horizontal (hablumminannas). Nabi Ibrahim adalah sosok yang dikenal dermawan, murah hati, dan senang menjamu tamu. Ia memberikan apa yang ia miliki kepada orang lain tanpa mengharap imbalan atau pujian.
Allah menggambarkan karakter orang-orang ikhlas dalam memberi:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (seraya berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.'”
(QS. Al-Insan: 8–9)
Selain itu, ikhlas juga berarti tidak iri terhadap rezeki dan kelebihan orang lain. Kita tidak selalu harus menjadi yang paling kaya, paling sukses, atau paling dipuji. Justru keikhlasan diuji ketika kita mampu bersyukur dengan apa yang kita miliki, dan tidak terganggu melihat keberhasilan orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah melihat kepada orang yang berada di atasmu. Hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
(HR. Muslim)
Dalam kehidupan sosial, keikhlasan menumbuhkan ketenangan hati, menghilangkan kecemburuan, dan memupuk ukhuwah (persaudaraan). Ikhlas dalam memberi juga menjaga kita dari sifat riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin didengar), dua penyakit hati yang sering merusak amal.
Refleksi: Ikhlas sebagai Kunci Kebahagiaan dan Keberkahan
Dunia hari ini penuh dengan kompetisi, pujian, dan ekspektasi sosial. Banyak orang melakukan sesuatu karena ingin dilihat, ingin dibandingkan, atau ingin mendapatkan pengakuan. Dalam kondisi ini, nilai ikhlas menjadi barang langka.
Kita perlu kembali kepada teladan Nabi Ibrahim, yang hatinya hanya dipenuhi oleh Allah, bukan oleh penilaian manusia. Ia tidak sibuk mencari pengakuan, tetapi sibuk menjalankan perintah Rabb-nya. Karena itulah namanya diabadikan dalam doa-doa umat Islam sampai hari ini:
“Sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim…”
(Doa dalam shalawat Ibrahimiyah)
Penutup
Ikhlas adalah dasar dari setiap amal yang diterima di sisi Allah. Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita bahwa ikhlas bukan hanya soal niat, tetapi soal pengorbanan, ketaatan, dan kerelaan hati. Ia rela menyerahkan yang paling dicintai karena cintanya kepada Allah lebih besar dari cinta kepada dunia.
Semoga kita bisa meneladani keikhlasan beliau dalam menjalankan perintah Allah (hablumminallah), dan juga dalam memperlakukan sesama manusia dengan penuh ketulusan (hablumminannas). Sebab, hanya dengan ikhlas, hidup menjadi ringan, hati menjadi tenang, dan amal menjadi penuh berkah.
Annas Nashrullah, Jurnalis dan Alumni Darunnajah Jakarta