Bongkar Pabrik Rumahan Pemalsu Pestisida di Subang: Residivis Raup Rp150 Juta Sekali Produksi

SUBANG, TINTAHIJAU.COM – Jajaran Polres Subang kembali membongkar praktik pemalsuan pestisida bermerek yang dijalankan secara ilegal di sebuah pabrik rumahan di Desa Jatireja, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang.

Pelaku berinisial BNG (46), warga Kecamatan Binong, ditangkap setelah terbukti menjalankan usaha terlarang tersebut selama dua bulan terakhir.

Yang mengejutkan, BNG bukanlah orang baru dalam dunia kriminal ini. Ia adalah residivis kasus pemalsuan pestisida yang pernah divonis dua tahun penjara atas kejahatan serupa.

Pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya aktivitas produksi mencurigakan di salah satu rumah di Desa Jatireja. Warga melaporkan adanya lalu lalang kendaraan dan pengangkutan barang-barang kimia di malam hari.

Polisi kemudian melakukan penyelidikan selama beberapa hari sebelum akhirnya melakukan penggerebekan terhadap lokasi tersebut. Dalam operasi tersebut, aparat berhasil mengamankan satu orang tersangka dan ratusan barang bukti, mulai dari pestisida siap edar hingga peralatan produksi.

“Ini merupakan bukti nyata bahwa peran serta masyarakat dalam melaporkan kejahatan sangat penting. Dari laporan warga inilah kami bisa bertindak dan mengamankan pelaku,” ujar Wakapolres Subang, Kompol Endar Supriyatna didampingi oleh Kasat Reskrim AKP Bagus Panuntun saat konferensi pers yang digelar di Mapolres Subang.

Wakapolres meberangkan BNG diketahui memproduksi pestisida palsu dengan cara mencampurkan pestisida asli dengan bahan kimia tambahan dan air, kemudian dikemas ulang agar menyerupai produk asli.

“Pelaku mencampurkan 5 botol pestisida asli merek Regent dengan zat kimia tertentu, ditambah sekitar 20 liter air, serta pewarna makanan. Campuran itu diaduk rata lalu dimasukkan ke botol bekas pestisida,” jelas Kompol Endar.

Untuk menambah kesan asli, botol bekas direkatkan kembali menggunakan lem dan solder, kemudian ditempeli label stiker merek pestisida yang dipalsukan. Hasil produksi itu kemudian diedarkan ke sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dari praktik ilegal ini, BNG mampu meraup keuntungan hingga Rp150 juta per sekali produksi. Ini diperoleh dari selisih harga antara pestisida asli dan produk palsu.

Harga pestisida asli berkisar Rp200 ribu per botol, sementara produk palsu milik tersangka hanya menghabiskan ongkos produksi sekitar Rp45 ribu per botol. Margin keuntungan tinggi inilah yang mendorong pelaku kembali mengulangi kejahatannya.

“Yang sangat dirugikan dalam kasus ini adalah masyarakat, terutama para petani yang menggunakan pestisida palsu. Efektivitasnya rendah, bahkan bisa membahayakan tanaman,” tambah Kompol Endar.

Selain mengamankan pelaku, Polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti yang disita dari lokasi penggerebekan. Barang bukti yang berhasil disita:

● 198 botol pestisida merek Regent ukuran 500 ml siap edar
● 95 botol pestisida merek Firtako ukuran 50 ml dalam proses produksi
● 1 jeriken berisi cairan kimia untuk produksi
● 316 botol kosong berbagai merek seperti Sirpako dan Prefacon

● 430 botol kosong berbagai ukuran untuk pestisida
● 2 lembar stiker label pestisida merek Ragon
● Satu set alat produksi: solder, gunting, lem, lakban, sil kertas, dan alat lainnya

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, BNG dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 125 jo Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dan/atau Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Atas perbuatannya Pelaku terancam pidana penjara maksimal 7 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar.

Kasat Reskrim Polres Subang, AKP Bagus Panuntun, mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli produk pertanian, terutama pestisida dan pupuk yang sangat krusial bagi keberhasilan panen.

“Pastikan membeli dari distributor resmi dan perhatikan kemasan produk, mulai dari segel, stiker, hingga bau cairannya. Jika mencurigakan, segera laporkan,” tegas AKP Bagus.

AKP Bagus menegaskan kasus ini menjadi peringatan keras bahwa kejahatan pemalsuan produk pertanian bukan hanya soal keuntungan ilegal, tetapi juga berdampak serius terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.