SUBANG, TINTAHIJAU.COM – Tingginya animo siswa dari berbagai wilayah di Kabupaten Subang untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas (SMA) tak diimbangi dengan pemerataan pembangunan sekolah negeri.
Hingga tahun ajaran 2024/2025, sebanyak 12 kecamatan di Subang masih belum memiliki satu pun SMA Negeri. Akibatnya, ribuan siswa gagal masuk ke sekolah negeri akibat keterbatasan daya tampung.
Hal itu diungkapkan oleh praktisi pendidikan Subang, Iwan Masna, yang menyoroti ketimpangan akses pendidikan di sejumlah kecamatan.
“Minat siswa di 12 kecamatan itu sangat tinggi, tapi tidak ada SMA Negeri di wilayah mereka. Ini menciptakan ketimpangan dan memaksa banyak siswa masuk SMK, meski sebenarnya ingin ke SMA,” ujar Iwan.
Berdasarkan Keputusan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor: 3103/TU.01.02/CADISDIK WIL.IV, pemerintah menunjuk sejumlah SMA Negeri sebagai sekolah penyangga untuk wilayah yang belum memiliki SMAN. Namun, solusi ini masih jauh dari cukup.
Adapun 12 kecamatan di Subang yang hingga kini belum memiliki SMAN adalah:
- Cikaum
- Cibogo
- Pusakajaya
- Ciater
- Kasomalang
- Sagalaherang
- Dawuan
- Tambakdahan
- Cipunagara
- Cijambe
- Pagaden Barat
- Sukasari dan Legonkulon
Siswa dari wilayah-wilayah ini hanya bisa masuk SMA Negeri melalui jalur zonasi khusus ke sekolah penyangga, dengan kuota yang sangat terbatas.
“Kuotanya hanya 3 siswa per rombel. Kalau satu sekolah punya 12 rombel, artinya maksimal hanya 48 siswa dari kecamatan tanpa SMAN yang bisa masuk,” jelas Iwan.
Data PPDB 2024 memperlihatkan realitas keras dunia pendidikan di Subang. Dari total 6.854 pendaftar di 15 SMA Negeri, hanya 4.789 siswa yang bisa tertampung. Sisanya, sebanyak 2.065 siswa, tidak diterima karena kuota yang tidak mencukupi.
Contohnya:
- SMAN 1 Cisalak: kuota 180, pendaftar 452 → 272 siswa tidak diterima
- SMAN 3 Subang: kuota 396, pendaftar 617 → 221 siswa tidak diterima
- SMAN 1 Ciasem: kuota 432, pendaftar 686 → 254 siswa tidak diterima
Angka ini belum termasuk siswa dari 12 kecamatan yang belum punya SMAN, yang otomatis harus bersaing lebih ketat atau terpaksa memilih SMK, meskipun minatnya sebenarnya ke SMA.
“Pemerintah seolah-olah sedang merampas hak siswa untuk mendapatkan pendidikan sesuai minat dan potensi mereka. Jangan dulu bicara kualitas, saat ini saja banyak yang tidak punya pilihan,” kata Iwan.
Menurut Iwan, satu-satunya solusi jangka panjang adalah membangun SMA Negeri baru di kecamatan-kecamatan yang belum memiliki. Sistem sekolah penyangga hanya menjadi solusi tambal sulam, karena jumlah siswa yang bisa ditampung sangat terbatas.
“Pemerataan pembangunan sekolah harus jadi prioritas. Kalau tidak, setiap tahun ribuan anak akan mengalami hal yang sama: tidak diterima di SMA, dipaksa masuk SMK, atau bahkan tidak melanjutkan pendidikan sama sekali,” tegasnya.
Tingginya minat dan jumlah pendaftar di sekolah menengah atas negeri di Subang seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan provinsi. Membuka akses pendidikan yang merata, termasuk di 12 kecamatan yang masih kosong dari SMAN, adalah keharusan. Karena pendidikan adalah hak, bukan hadiah.