LAIR Band dan Misi Budaya: Dari Majalengka Menuju Panggung Dunia

Majalengka, TINTAHIJAU.COM – Di tengah arus musik modern yang seragam dan sering kali melupakan akar budaya, sekelompok musisi dari Majalengka membuktikan bahwa identitas lokal bisa bersuara nyaring di panggung global.

Mereka adalah LAIR Band, grup musik eksperimental yang kini bersiap melanjutkan misi budayanya dengan kembali menyambangi benua Eropa melalui tur bertajuk “Lawatan Tanah Bertuah”.

Mulai 22 Juli hingga 19 Agustus 2025, LAIR akan tampil di 20 titik panggung di enam negara: Inggris, Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Belgia.

Bagi mereka, ini bukan sekadar tur biasa—ini adalah perjalanan artistik, diplomasi budaya, dan ekspedisi spiritual menyuarakan bumi Majalengka ke telinga dunia.

“Untuk tahun ini mah sekadar tur aja,” ujar Tedi Nurdianto, salah satu personel LAIR, saat ditemui usai latihan. “Iya emang biasanya setiap tur launching album, tapi sekarang mah tur aja.” Ucapan Tedi terdengar santai, namun semangat di baliknya terasa besar: menyebarkan musik dan memperluas jejaring global.

Tur ke Eropa tahun ini bukanlah pengalaman perdana bagi LAIR. Debut tur internasional mereka dimulai pada 2022. Setelah jeda produksi album di 2023, LAIR kembali ke jalur tur di 2024.

Kini, 2025 menandai fase konsolidasi visi mereka sebagai musisi independen dengan napas budaya yang kuat.

Tur dan Misi Budaya

Berbeda dari sebelumnya, kali ini LAIR tampil sebagai musisi undangan. Mereka bukan lagi band yang datang menawarkan diri, tetapi dipanggil untuk hadir.

Separuh dari total 20 panggung mereka adalah festival musik, dan sisanya adalah konser tunggal yang memang disiapkan untuk menyuguhkan karya mereka secara utuh.

“Intinya mah buat penyebaran musik kita, nambah jaringan baru, dan merasakan atmosfer musik dunia di Eropa. Diplomasi budaya udah jelas,” tutur Tedi dengan nada tegas.

Nada Tanah Liat yang Menembus Batas

Salah satu kekuatan utama LAIR terletak pada keunikan instrumen musik yang mereka gunakan. Mereka dikenal menggunakan alat-alat musik berbahan tanah liat—simbol kuat yang merujuk pada keterikatan mereka terhadap bumi, tanah kelahiran, dan filosofi alam.

Di tengah hiruk pikuk teknologi musik canggih, suara natural dari tanah justru menjadi pembeda yang mencuri perhatian publik Eropa.

“Dianggap cukup fresh, jadi sesuatu yang baru mungkin. Dari genre dan alat musik juga mencuri perhatian,” kata Tedi saat ditanya soal reaksi audiens luar negeri.

Tak heran jika LAIR mendapat tempat khusus dalam berbagai festival eksperimental dan world music di Eropa.

Dalam setiap penampilan, LAIR membawakan lagu-lagu dari dua album mereka, dengan durasi rata-rata satu jam. Album kedua menjadi materi dominan.

Meski belum membawa album baru, kekuatan naratif dalam lagu-lagu lama mereka masih cukup kuat untuk menebar makna dan energi.

Tur yang Bukan Sekadar Panggung

Bagi LAIR, tur bukan hanya tentang tampil, tetapi tentang membuka dialog budaya. Mereka hadir tidak hanya sebagai musisi, tetapi sebagai duta akar musik lokal yang mencoba menyatu dengan denyut global.

Konser demi konser, dari festival besar hingga panggung kecil, menjadi ruang perjumpaan antara tradisi dan inovasi.

“Setelah pulang mah pengen bikin album,” ujar Tedi menutup perbincangan, memberi isyarat bahwa perjalanan mereka tak berhenti di satu titik.

Justru dari setiap tur, mereka menyerap inspirasi baru untuk diramu dalam karya berikutnya.

LAIR memang bukan band besar dengan popularitas instan. Namun mereka adalah bukti nyata bahwa musik bisa menjadi jembatan lintas budaya, dan bahwa Majalengka, dengan segala kesahajaannya, punya suara yang layak didengar dunia.

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini