Jakarta, TINTAHIJAU.COM — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, mengapresiasi langkah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menggandeng Kepolisian RI dalam menangani konflik agraria.
Sinergi ini dinilainya sebagai langkah penting dalam menegakkan hukum terhadap praktik pendudukan lahan secara ilegal yang semakin meresahkan.
Dalam keterangannya, Ateng mengingatkan bahwa premanisme dalam konflik agraria tidak hanya datang dari masyarakat yang menduduki lahan tanpa hak.
Menurutnya, justru bentuk premanisme paling berbahaya dan sistemik lahir dari praktik penguasaan lahan melalui skema legal seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), yang diperoleh secara ilegal dan manipulatif.
“Premanisme pendudukan lahan secara ilegal memang harus dilawan, tapi harus diingat bahwa penguasaan lahan lewat HGU/HGB yang diperoleh secara tidak sah adalah bentuk premanisme yang sesungguhnya. Ironisnya, negara justru tersandera di dalamnya,” tegas Ateng dalam pernyataannya, Sabtu (21/06/2025).
Politikus asal Dapil Jawa Barat IX itu menyoroti lemahnya posisi negara dalam menindak tegas penyalahgunaan izin HGU/HGB.
Banyak penerbitan hak atas tanah yang bermasalah sejak awal karena disusupi praktik curang oleh oknum pejabat.
“Negara sebagai penerbit izin justru sering kehilangan wibawa untuk menertibkan karena ada keterlibatan pihak internalnya sendiri. Ini yang membuat hukum kita tidak berjalan,” kritiknya.
Ateng mencontohkan sejumlah pelanggaran seperti penerbitan HGB di atas wilayah perairan, kawasan lindung, hingga zona konservasi.
Menurutnya, ini bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan bukti nyata premanisme modern yang beroperasi di balik meja dan didukung kekuatan uang serta jaringan kekuasaan.
“Premanisme hari ini tidak selalu memakai kekerasan. Mereka menggunakan dokumen, lobi, dan suap. Ini bentuk korupsi terselubung yang sulit disentuh,” ujarnya tajam.
Ia juga menyoroti ketidaksiapan negara menghadapi kekuatan besar di balik konflik agraria. Ketika persoalan mengemuka di publik, respons negara cenderung defensif, bukan solutif.
“Saat kasus makin terang benderang, negara justru tampak bingung: maju kena, mundur pun kena. Ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman korporasi dalam urusan agraria kita,” ungkapnya.
Karena itu, Ateng mendorong agar sinergi ATR/BPN dan Kepolisian tidak berhenti pada penindakan masyarakat kecil semata.
Ia menuntut keberanian negara untuk juga menindak aktor-aktor besar yang selama ini berada di balik penyimpangan agraria.
“Saya sangat berharap kolaborasi ini juga menyasar para pelaku premanisme dari kalangan korporasi besar dan individu yang kebal hukum. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” pungkasnya.