EDITORIAL: Subang Nyalakan Obor Kemanusiaan untuk Palestina

Tanggal 22 Juni 2025 akan tercatat dalam memori kolektif warga Kabupaten Subang, bukan sebagai hari biasa, melainkan sebagai hari ketika kemanusiaan menggema dari alun-alun kota. Ribuan warga berkumpul, bersatu dalam semangat yang melampaui batas geografis dan identitas: membela Palestina, membela kemanusiaan.

Aksi Bela Palestina dan Konser Amal yang digelar oleh Yayasan Bina Masyarakat Berdaya (BMB) bukan sekadar kegiatan seremonial atau keramaian sesaat. Ia merupakan potret nyata bahwa masyarakat Subang tidak tinggal diam melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza dan wilayah Palestina lainnya. Ketika dunia diguncang oleh agresi militer, blokade, dan pembantaian atas nama kekuasaan, dari Subang—yang jauh dari garis depan konflik—muncul gelombang empati yang membesar.

Lebih dari Rp1,14 miliar donasi dan 2,5 gram logam mulia berhasil dikumpulkan. Ini bukan angka yang kecil. Ini adalah bukti bahwa kekuatan rakyat, bila digerakkan oleh hati nurani, mampu menembus batas apapun—termasuk jarak, politik, bahkan keterbatasan materi.

Tak hanya donasi, aksi ini juga menghadirkan kekuatan simbolik yang sangat kuat. Arak-arakan bendera raksasa Palestina dan Merah Putih yang dibentangkan berdampingan menjadi pesan visual yang menggetarkan: Indonesia menolak penjajahan, dari dulu, kini, dan selamanya.

Yang paling menyentuh adalah kehadiran Abdillah Onim, atau akrab disapa Bang Onim, aktivis kemanusiaan asal Indonesia yang telah menetap di Gaza dan menjadi saksi hidup penderitaan rakyat Palestina. Bersama istri dan anak-anaknya, Bang Onim berdiri di atas panggung di Subang, dan menyampaikan kenyataan yang selama ini hanya bisa kita baca di layar kaca: lebih dari 60.000 warga Palestina gugur, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Bantuan kemanusiaan tak diberi akses masuk, dan setiap hari korban terus bertambah.

Namun di tengah kesaksian pahit itu, ia mengatakan satu kalimat sederhana namun sangat dalam:

“Subang memberi kami harapan.”

Harapan. Di tengah reruntuhan Gaza, suara dari alun-alun kecil di Tatar Sunda itu ternyata terdengar dan bermakna. Ini menegaskan bahwa solidaritas bukan hanya milik negara-negara besar atau organisasi internasional, melainkan juga milik rakyat biasa yang memiliki hati dan keberanian untuk bersuara.

Yang juga patut dibanggakan adalah ketertiban, kedamaian, dan kesadaran lingkungan dari ribuan peserta aksi. Tak ada benturan. Tak ada sampah berserakan. Lapangan kembali bersih seperti sediakala setelah massa bubar. Bahkan petugas kebersihan dan relawan sudah bergerak sejak pagi hingga malam, menyisir setiap sudut, memastikan Subang tak hanya bersuara, tapi juga bertanggung jawab.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat Subang tidak hanya peduli pada nasib saudara di Gaza, tapi juga memiliki etika sosial yang kuat. Aksi besar bisa selesai tanpa sampah. Ini bukan hal remeh. Dalam banyak demonstrasi besar, masalah sampah justru sering jadi ironi. Tapi di sini, Subang menutup acara dengan rapi, bersih, dan berkesan.

Tentu, aksi seperti ini tidak serta-merta menyelesaikan konflik Palestina. Tapi ia adalah bagian penting dari diplomasi moral rakyat—suatu bentuk tekanan publik global yang selama ini terbukti memiliki kekuatan mengubah arah sejarah.

Editorial ini ingin menegaskan bahwa Aksi Bela Palestina di Subang adalah cermin dari wajah masyarakat yang berakal, berperasaan, dan bertanggung jawab. Mereka tidak larut dalam amarah tanpa arah, tidak membiarkan emosi mengaburkan nilai, tapi justru menjadikannya landasan untuk bertindak terukur, damai, dan konstruktif.

Dalam dunia yang semakin dingin oleh kepentingan politik dan ekonomi, Subang telah menyalakan obor kemanusiaan. Obor itu semoga tidak padam, dan justru menjadi suluh bagi kota-kota lain untuk melakukan hal serupa: bersikap, bersuara, dan bertindak—untuk Palestina, untuk kemanusiaan.