Majalengka, TINTAHIJAU.COM – Tak semua kritik harus bersuara lantang. Bagi Noriko Muraghisi, seorang perempuan asal Jepang, perlawanan terhadap kerusakan bumi justru disuarakan dalam diam – lewat gerak, tubuh, dan topeng.
Senin (07/07/2025), panggung kecil di Saung Eurih, Kabupaten Majalengka, menjadi saksi pertunjukan tari bertajuk Surya Timur yang dibawakan Noriko.
Namun pertunjukan ini jauh dari sekadar unjuk estetika. Ia adalah manifestasi keresahan global yang dibalut narasi spiritual dan budaya lintas bangsa.
Menggunakan topeng “Han-Nya” dari teater Noh Jepang – simbol amarah dan derita – Noriko memadu gerak tari Jawa gaya Surakarta sebagai bahasa tubuhnya.
Pesannya jelas: bumi sedang menangis. Alam sedang marah. Dan manusia, katanya, terlalu sibuk untuk mendengarkan.
“Tarian ini adalah ungkapan kegelisahan saya melihat dunia yang terus rusak, tapi juga harapan bahwa dari Timur, kesadaran baru bisa tumbuh,” kata Noriko usai pentas.
Noriko datang ke Indonesia pada 2014, mengikuti suaminya yang bertugas. Di sinilah ia bersentuhan kembali dengan hasrat lama: tari. Bukan lewat pendidikan formal, melainkan lewat proses personal yang panjang dan sunyi.
Awalnya ia hanya menonton anaknya berlatih tari Bali. Namun kemudian, YouTube membawanya pada video tari klasik gaya Solo. Di situlah ia menemukan sesuatu yang tidak ia temukan di Jepang: akses dan kebebasan untuk belajar.
“Di Jepang, belajar tari tradisi sangat mahal dan tertutup. Di sini, saya merasa seni masih hidup dan dekat dengan rakyat,” ungkapnya.
Meski bukan penari profesional, Noriko menjalani proses belajar yang nyaris asketik: mendalami filosofi