JAKARTA, TINTHIJAU.com — Fenomena kecanduan judi online (judol) kian marak di tengah masyarakat digital saat ini. Namun, di balik tampilan luar berupa perilaku kompulsif bermain judi daring, tersembunyi akar psikologis yang mendalam. Psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus kecanduan judol sesungguhnya berakar pada trauma masa lalu yang tidak tertangani secara tepat.
Menurut dr. Jiemi, individu dengan latar belakang trauma cenderung mencari bentuk pelampiasan yang dapat memberikan sensasi kesenangan dengan intensitas tinggi. Judi online menawarkan kepuasan instan dan rangsangan emosional yang besar—sesuatu yang sangat menarik bagi individu yang mengalami kekosongan emosional akibat trauma.
“Sebagiannya itu karena trauma makanya dia kecanduan, berusaha mengisi kesenangan dengan cara ekstrem, yang kalau orang normal enggak butuh intensitas kesenangan sebesar itu,” ujar Jiemi, dikutip dari Antara pada Minggu, 13 Juli 2025.
Ketergantungan dan Rantai Masalah Psikologis
Kecanduan judol bukan sekadar masalah perilaku, tetapi merupakan manifestasi dari gangguan psikologis yang kompleks. Ketika trauma tidak mendapatkan penanganan profesional, individu terdorong untuk mencari jalan pintas guna menekan gejolak batin. Ketergantungan pada aktivitas seperti judol menjadi “pelarian” yang ironisnya justru memperparah kondisi psikologis.
Judi daring memicu sistem dopamin otak secara cepat dan masif. Pada individu yang sedang mencari pelampiasan dari luka emosional, hal ini memperkuat mekanisme ketergantungan secara neurologis dan psikologis. Mereka cenderung terus mencari sensasi serupa untuk menutupi rasa sakit yang mendalam.
Kesehatan Mental Keluarga dan Efek Trauma Sekunder
Lebih dari sekadar individu, kecanduan judol juga berdampak pada lingkungan terdekat, khususnya keluarga. Dr. Jiemi menyoroti adanya kemungkinan trauma sekunder yang dialami anggota keluarga pelaku judol. Keluarga yang terus-menerus berada dalam ketegangan emosional akibat perilaku kasar, perubahan emosi ekstrem, hingga masalah keuangan dapat mengalami tekanan psikologis yang berat.
Trauma sekunder ini juga memunculkan respons emosional negatif terhadap segala hal yang berkaitan dengan judol, seperti kemarahan berlebihan hanya karena melihat konten promosi judi daring. Dalam jangka panjang, ini memperburuk dinamika relasi dan menciptakan siklus trauma antargenerasi.
Penghentian Judi Bukan Akhir dari Proses Penyembuhan
Satu hal penting yang ditekankan oleh dr. Jiemi adalah bahwa berhenti berjudi belum tentu menandakan seseorang telah pulih secara menyeluruh. Dalam pendekatan psikiatri, pemulihan sejati ditandai oleh hilangnya perilaku-perilaku destruktif lain yang timbul akibat trauma, seperti agresivitas, mood swing, atau gejala psikosomatik.
“Jadi, kita tidak bisa menganggap sembuh judi itu hanya sebatas abstinence atau berhentinya judi, tapi juga hilangnya gejala mengganggu lain, itu baru kita bisa sebut sebagai sembuh,” jelas Jiemi.
Perlunya Intervensi Profesional
Melihat kompleksitas penyebab dan dampaknya, kecanduan judol tidak bisa dianggap sepele. Penanganannya membutuhkan pendekatan profesional yang komprehensif—baik psikoterapi, farmakoterapi, maupun rehabilitasi sosial. Selain itu, edukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan pencegahan trauma sejak dini juga menjadi kunci mengatasi masalah ini dari hulunya.
Kesadaran untuk mencari bantuan profesional bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Seperti ditegaskan dr. Jiemi, keberanian untuk memulihkan diri dari kecanduan adalah langkah pertama dalam menghentikan rantai trauma yang bisa menular secara sosial dan lintas generasi.
Kecanduan judol bukan sekadar persoalan moral atau kebiasaan buruk, melainkan sering kali merupakan jeritan sunyi dari luka batin yang dalam. Menghadapinya secara ilmiah dan empatik merupakan jalan menuju pemulihan yang sejati, bukan hanya bagi individu, tetapi juga untuk keberlangsungan kesehatan mental keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.