EDITORIAL: 06.30 Masuk Sekolah, Efektifkah untuk Semua?

Sudah dua hari siswa di sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk Kabupaten Subang, masuk sekolah pukul 06.30 WIB. Kebijakan ini awalnya digulirkan lewat Surat Edaran Gubernur Jawa Barat dan kemudian diteruskan oleh pemerintah kabupaten/kota, termasuk lewat SE Bupati Subang No. 9 Tahun 2025.

Alasan utamanya: agar waktu belajar lebih efektif, membentuk kedisiplinan, serta menghindari jam-jam macet di kota besar.

Namun, pertanyaannya kini muncul: efektifkah kebijakan ini diterapkan secara merata di seluruh Jawa Barat?

Hal yang penting diperhatikan dengan masuk sekolah jam 06 30 WIB adalah bahwa efektivitas belajar tidak hanya ditentukan dari jam masuk yang lebih pagi, tapi kesiapan siswa secara fisik dan mental. Bahkan, kebijakan ini bisa menjadi beban jika diterapkan tanpa melihat konteks lokal.

Ada beberapa catatan penting yang harus dipertimbangkan:

Pertama, kondisi geografis dan jarak rumah ke sekolah. Di daerah pedesaan, siswa mungkin harus menempuh perjalanan jauh, bahkan berjalan kaki sebelum matahari terbit. Apakah anak-anak seperti ini bisa sampai di sekolah pukul 06.30 dalam kondisi segar dan siap belajar?

Kedua, situasi keluarga, khususnya bagi orang tua yang bekerja dan memiliki lebih dari satu anak dengan lokasi sekolah yang berbeda. Mengantar dua anak ke tempat berbeda dengan jam masuk yang sama bukan hal yang sederhana.

Ketiga, guru juga terdampak. Ada guru yang punya anak usia sekolah. Kalau guru harus hadir pukul 06.30, sementara anaknya sekolah di tempat lain, ini bisa menimbulkan beban tambahan.

Keempat, sekolah swasta juga terdampak, karena edaran gubernur berlaku umum. Padahal sekolah swasta sering memiliki fleksibilitas dan pola belajar tersendiri. Bila dipaksa seragam, bisa saja mengganggu sistem yang sudah berjalan baik.

Kebijakan pendidikan tidak bisa disamaratakan. Karakteristik perkotaan seperti Bandung tidak sama dengan Cisalak atau Cipunagara. Jika dipukul rata, justru bisa menciptakan ketimpangan dan keluhan dari peserta didik maupun tenaga pendidik.

Evaluasi menjadi kunci. Jangan sampai semangat membangun karakter dan kedisiplinan justru menghasilkan kebijakan yang memberatkan dan mengurangi kualitas pembelajaran.

Sekolah bukan tempat uji coba terus-menerus. Pendidikan adalah tentang memanusiakan manusia, dan itu artinya, kebijakan pun harus mempertimbangkan kondisi nyata manusia yang ada di dalamnya.