Megapolitan

Remaja di Garut Diduga Bunuh Diri Akibat Perundungan, Kasus Masih Diselidiki

×

Remaja di Garut Diduga Bunuh Diri Akibat Perundungan, Kasus Masih Diselidiki

Sebarkan artikel ini

GARUT, TINTAHIJAU.com Masyarakat Kabupaten Garut tengah digemparkan oleh dugaan kasus bunuh diri yang dilakukan seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun, diduga karena tak tahan menjadi korban perundungan di sekolah. Insiden tragis ini terjadi pada Senin (14/7/2025) dan langsung menyita perhatian publik.

Kabar tersebut pertama kali mencuat ke publik usai ibu dari korban membagikan kisah anaknya melalui unggahan di akun Instagram pribadinya. Dalam serangkaian Instastory yang dilihat pada Selasa (15/7), sang ibu menuturkan bahwa anaknya menjadi korban perundungan setelah dituduh melaporkan sejumlah siswa yang merokok vape di dalam kelas kepada pihak sekolah.

“Awalnya anak saya dituduh melaporkan teman-temannya yang nge-vape, padahal dia tidak melakukannya,” tulis sang ibu. Ia juga menyebut, anaknya pernah hampir dikeroyok oleh beberapa teman sekelas, namun berhasil melarikan diri ke ruang BK (Bimbingan Konseling).

Sejak kejadian tersebut, korban disebut menjadi takut datang ke sekolah. Bahkan, korban dinyatakan tidak naik kelas dan harus pindah sekolah untuk melanjutkan ke kelas 11.

Tragisnya, pada pertengahan Juli, korban ditemukan tewas di rumahnya. Kasus ini pun dibenarkan oleh Kasat Reskrim Polres Garut, AKP Joko Prihatin. “Kejadiannya sedang kami lakukan penyelidikan,” ujarnya.

Kisah ini menyulut gelombang simpati dan kemarahan publik di media sosial. Tagar berisi nama korban telah dibagikan ulang oleh lebih dari 8.000 pengguna Instagram. Warganet mendesak agar kasus ini diusut tuntas oleh pihak berwenang.

Pihak keluarga korban hingga kini belum bersedia memberikan keterangan kepada media, termasuk saat sejumlah wartawan mendatangi rumah duka di kawasan Bayongbong, Garut.

Penjelasan dari Pihak Sekolah

Kepala SMAN 6 Garut, Dadang Mulyadi, membantah adanya praktik perundungan terhadap korban. Ia menjelaskan bahwa permasalahan utama yang dialami korban adalah ketidaklulusan karena tujuh mata pelajaran tidak tuntas.

“Sebelum keputusan pleno kenaikan kelas, orang tua korban sudah dipanggil dan menerima keputusan tersebut,” terang Dadang.

Wali kelas korban, Yulia Wulandari, juga mengaku terkejut mendengar kabar meninggalnya korban. Menurutnya, tidak ada perlakuan diskriminatif di sekolah terhadap korban. Ia mengatakan pihak sekolah bahkan berusaha membantu peningkatan prestasi akademik korban, meskipun hasilnya belum memuaskan.

“Orang tuanya juga sering berkomunikasi dengan saya, bahkan sering curhat soal kondisi anaknya,” ujar Yulia.

Dua teman sekelas korban yang diwawancarai juga memberikan keterangan serupa. Mereka mengakui adanya kesalahpahaman terkait insiden pelaporan siswa yang merokok, namun membantah adanya aksi kekerasan atau pengucilan terhadap korban.

Respons Pemkab Garut dan Pemprov Jabar

Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, menyampaikan keprihatinannya dan menegaskan bahwa kasus ini sudah dalam pendampingan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sejak pertengahan Juni lalu, setelah sang ibu mengangkat kisahnya di media sosial.

Putri menyatakan bahwa pihaknya akan menjadikan kasus ini sebagai bahan evaluasi, termasuk mendorong Dinas Pendidikan untuk meninjau kinerja guru dan sistem deteksi dini terhadap siswa yang mengalami tekanan psikologis.

“Walaupun SMA itu kewenangan provinsi, tapi yang sekolah adalah anak-anak Garut. Kami tetap bertanggung jawab,” kata Putri.

Pihak kepolisian bersama Pemerintah Kabupaten Garut dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih terus mendalami dan mengumpulkan keterangan dari berbagai pihak untuk mengungkap duduk perkara yang sebenarnya.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya membangun lingkungan sekolah yang aman dan mendukung kesehatan mental para siswa. Pemerintah daerah, sekolah, dan keluarga diharapkan bisa bersinergi untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Sumber: detikJabar