‎Dari Sungai Cipelang, Pemuda Jatitujuh Bangun Perlawanan terhadap Kerusakan Lingkungan di Majalengka

Majalengka, TINTAHIJAU.COM — Sungai Cipelang di Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, kini bukan sekadar aliran air untuk irigasi. Di sepanjang bantaran sungai itu, lahir gerakan lingkungan yang digagas oleh sekelompok pemuda lokal dalam wadah komunitas bernama Hujan Keruh.

‎‎Dari sebuah bilik bambu sederhana yang berdiri di tepian sungai, Hujan Keruh menjadikan tempat itu sebagai pusat gerakan, ruang kreatif, sekaligus simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan.

‎‎“Tempat ini bukan sekadar sekretariat. Ini adalah ruang ide, tempat kami berkumpul, merancang langkah-langkah kecil yang berdampak besar,” ujar Sarifudin Rahmat, salah satu penggerak komunitas Hujan Keruh, Rabu (30/7/2025).‎‎

Berawal dari Tragedi Sungai‎

Komunitas ini mulai tumbuh sejak 2010/2011, saat bencana abrasi Sungai Cimanuk merenggut 22 rumah warga. Respons pemerintah yang lambat mendorong para pemuda setempat untuk bertindak.‎‎

“Kami geram. Karena itu kami bergerak. Alhamdulillah, satu tahun setelahnya ada relokasi, dan bantaran sungai mulai ditangani,” kenang Sarifudin.‎‎

Nama Hujan Keruh sendiri lahir dari fenomena sederhana: setiap musim hujan datang, air sungai di wilayah mereka selalu berubah keruh. “Nama ini mengingatkan kita soal kondisi lingkungan yang mesti diperbaiki,” katanya.

‎‎Festival, Perahu, dan Kampanye Harian

‎Tak hanya menjaga kebersihan sungai, komunitas ini aktif menyebarkan kesadaran lingkungan lewat berbagai cara kreatif. Salah satunya adalah Festival Pecunan, lomba balap perahu tradisional yang rutin digelar tiap 17 Agustus. Acara itu jadi ajang kampanye soal pentingnya menjaga kebersihan saluran irigasi dan sungai.

‎‎“Lewat festival, kami ajak warga melihat bahwa sungai bukan tempat sampah. Sungai harus kita rawat bersama,” ucapnya.

‎‎Ketekunan mereka juga berbuah dukungan dari Pemkab Majalengka.

Hujan Keruh mendapatkan satu unit perahu operasional untuk patroli harian sungai Cipelang. Bagi mereka, perahu itu bukan alat wisata, melainkan ‘panggung’ kampanye kebersihan yang terus bergerak.‎‎

Edukasi dari Sekolah hingga Sungai‎

Daripada menyalahkan pembuang sampah, Hujan Keruh memilih jalur edukasi. Mereka rutin mendatangi sekolah-sekolah untuk menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini. Materi yang diajarkan sederhana: bawa botol minum sendiri, pilah sampah, dan cintai alam sekitar.

‎‎“Perubahan harus dimulai dari generasi baru. Kalau anak-anak sudah sadar sejak kecil, masa depan sungai ini lebih terjaga,” tegasnya.‎‎

WPS: Dari Sampah Jadi Magot dan Batako‎

Komunitas ini juga dipercaya oleh BBWS Cimanuk-Cisanggarung untuk mengelola Waste Processing System (WPS) di kawasan Rentang. Di sana, mereka mengolah 15–20 ton sampah irigasi dan rumah tangga setiap hari.

‎‎“Plastik kami olah jadi RDF (Refused Derived Fuel) untuk bahan bakar pabrik. Organik kami jadikan pupuk, magot, hingga media tanam super,” kata Sarifudin.‎‎

Sementara sebagian plastik lainnya diolah menjadi batako, yang bisa digunakan untuk lantai atau pembangunan ringan.‎‎Gerakan Sosial-Budaya‎Meski fokus pada isu lingkungan, Hujan Keruh juga aktif dalam kegiatan sosial dan budaya.

Salah satu program unggulan mereka adalah Ruang Kita, panggung ekspresi anak-anak Jatitujuh untuk membaca puisi, bermusik, atau berdiskusi.

‎‎“Lingkungan memang fokus utama kami, tapi bukan satu-satunya. Kami ingin hadir di setiap ruang yang bermanfaat bagi masyarakat,” pungkas Sarifudin.