BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Bagi masyarakat Sunda, tanaman bukan sekadar penghias alam. Mereka percaya, setiap pohon memiliki ruh dan kisahnya sendiri. Ada yang diyakini sebagai pembawa berkah, ada pula yang berfungsi sebagai penjaga dari hal-hal tak terlihat. Salah satunya—dan mungkin yang paling tak terduga—adalah pohon jengkol.
Ya, jengkol. Tanaman yang sering memancing perdebatan karena aromanya yang khas ini ternyata menyimpan cerita mistis yang cukup dalam. Bukan soal bijinya yang kerap diolah menjadi semur atau sambal lezat, melainkan kayunya. Dalam mitos Sunda, kayu pohon jengkol dipercaya sebagai penangkal maling.
Jejak Mitos: “Cemped” yang Menyilaukan Gelap
Ace Kiron, 56 tahun, warga Sumedang, menyebut bahwa cukup sepotong kecil kayu jengkol disematkan pada konstruksi rumah—misalnya pada kusen atau “cemped” (penjepit kaca di jendela)—maka rumah tersebut akan memiliki “tameng” gaib.
“Katanya, pencuri yang mencoba masuk akan langsung gelap pandangannya, kehilangan arah,” ujarnya sambil tersenyum, seakan membiarkan pendengar memutuskan sendiri apakah itu kebenaran atau sekadar dongeng turun-temurun.
Menariknya, tak perlu seluruh kusen dibuat dari kayu jengkol. Sedikit saja sudah dianggap cukup untuk menghadirkan aura pelindung. Tetapi karena pohon jengkol besar jarang ditemukan, mendapatkan kayunya menjadi perkara keberuntungan. Pemilik biasanya menunggu pohon roboh sendiri atau sengaja ditebang.
Pohon yang Tumbuh Tinggi dan Menggoda Lidah
Secara botani, pohon jengkol (Archidendron pauciflorum) bukan tanaman sembarangan. Ia bisa tumbuh hingga 20 meter, dengan batang tegak cokelat gelap yang licin jika diraba. Daunnya rimbun, lonjong, dan berhadapan satu sama lain, menciptakan naungan sejuk di bawahnya.
Bunga jengkol berwarna ungu dengan mahkota putih kekuningan, dan dari sanalah lahir buah bulat pipih berwarna cokelat kehitaman—sumber biji yang digemari di banyak meja makan Asia Tenggara. Di dapur Sunda, jengkol bisa diolah menjadi semur gurih, digoreng sederhana, atau bahkan dimakan mentah saat masih muda bagi para penggemarnya.
Dari Obat Tradisional hingga Pewarna Alami
Selain urusan mistis dan kuliner, batang jengkol juga punya rekam jejak pemanfaatan tradisional. Getahnya digunakan sebagai obat gatal dan antiseptik alami, kulit batangnya direbus untuk ramuan herbal, bahkan dimanfaatkan sebagai pewarna alami dalam kerajinan.
Namun, di balik semua itu, mitos “anti-maling” tetap menjadi cerita yang paling sering diceritakan dari mulut ke mulut.
Antara Keyakinan dan Realitas
Ace sendiri mengingatkan, meski ada mitos ini, kunci rumah tetap harus digembok dan jendela dikunci rapat. “Jangan sampai gara-gara percaya mitos, kita lengah,” katanya.
Bagi sebagian orang, cerita tentang kayu jengkol hanyalah bagian dari folklore. Bagi yang lain, ia adalah pengetahuan lokal yang patut dijaga. Seperti banyak tradisi lisan Sunda lainnya, mitos ini tak hanya berbicara tentang magis, tapi juga tentang cara masyarakat memandang hubungan manusia dengan alam—bahwa setiap batang kayu punya peran, entah di dapur, di obat, atau di batas pintu rumah.
Jadi, apakah Anda akan memasang kayu jengkol di rumah sebagai penangkal maling? Atau cukup menikmatinya di piring semur yang mengepulkan aroma?