DUA pekan terakhir, Asia memperlihatkan gelombang politik yang sama-sama mengguncang. Di Nepal, gelombang protes Gen Z yang awalnya dipicu larangan media sosial menjelma menjadi amarah kolektif terhadap korupsi dan arogansi penguasa—hingga akhirnya menjatuhkan rezim.
Di Indonesia, aksi massa 28 Agustus lalu, yang bermula dari tuntutan kebijakan perburuhan bergeser menjadi tunjangan fantastis DPR dan berakhir ricuh, dengan tuntutan ekstrem: bubarkan lembaga legislatif.
Sekilas berbeda, tapi keduanya memperlihatkan gejala yang sama: krisis mendalam pada kehidupan politik modern. Apa yang semula berangkat dari isu spesifik, dengan cepat meluas menjadi gugatan moral terhadap seluruh sistem. Rakyat tidak lagi sekadar menolak kebijakan, melainkan menggugat legitimasi elit yang dianggap abai dan pongah.
Fenomena ini relevan untuk ditinjau dengan pisau analisis Geoff Mulgan dalam bukunya Politics in an Anti-Political Age (1994). Meski lahir dari refleksi atas politik Eropa di akhir abad ke-20, teorinya masih terasa segar untuk Asia hari ini.
Mulgan menyebut krisis politik tak lagi terkonsentrasi pada satu kubu, melainkan menyebar ke seluruh sistem. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga formal seperti parlemen atau partai politik terkikis habis.
Itulah yang kini kita saksikan di Nepal dan Indonesia. Di satu sisi, muncul seruan “Nepo Kids” untuk mengecam elit Nepal yang dinilai berkuasa lewat privilese keluarga (flexing di media sosial). Di sisi lain, tuntutan “bubarkan DPR” mencerminkan amarah publik Indonesia pada lembaga yang mestinya mewakili rakyat, tapi justru tampil sebagai simbol arogansi.
Dua ekspresi berbeda, tapi berakar pada rasa frustrasi yang sama: institusi politik gagal menjadi ruang representasi.
Mulgan mencatat, di tengah runtuhnya legitimasi, rakyat akan mencari jalannya sendiri. Politik baru yang lahir bukan berbasis hierarki, melainkan jaringan. Gerakan Gen Z di Nepal dan Indonesia jelas mengindikasikan hal itu: cair, horizontal, tanpa struktur komando, dan masif di media sosial. Mereka menolak jalur konvensional, memilih jalan raya dan linimasa digital sebagai arena perlawanan.
Hasilnya memang berbeda—Nepal berhasil menumbangkan rezim, Indonesia tak sampai ke sana. Tapi benang merahnya jelas: fenomena “anti-politik” bukan lagi anomali, melainkan pola global.
Publik tidak puas dengan demokrasi prosedural yang hanya melahirkan elit tertutup. Mereka menuntut politik baru yang berbasis kualitas dan timbal balik, di mana kekuasaan hadir untuk melayani, bukan menguasai.
Dan di tangan generasi baru, tuntutan itu mestinya bukan sekadar wacana. Ia harusnya terus menggema, menyeberangi batas negara, mengguncang tatanan lama, dan mengingatkan kita: bila elit terus menutup telinga, jangan kaget jika rakyat kelak memilih jalan yang lebih keras—politik “anti-politik” bisa menjadi vonis bagi demokrasi yang pura-pura hidup.
Budi Setiawan, Penulis adalah pemerhati sosial dan politik, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung




