Literasi

OPINI: Pemuda dan Krisis Keteladanan

×

OPINI: Pemuda dan Krisis Keteladanan

Sebarkan artikel ini

PERINGATAN Hari Sumpah Pemuda 2025 terasa dingin dan seremonial. Di tengah gegap gempita upacara dan slogan-slogan “pemuda pelopor perubahan,” realitas di lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya. Alih-alih menjadi motor transformasi sosial, banyak anak muda hari ini justru terjebak dalam budaya pragmatis, apatis, dan kehilangan orientasi moral.

 

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) mencatat jumlah pemuda Indonesia mencapai 66,3 juta jiwa atau sekitar 23,8 persen dari total penduduk. Angka yang besar ini sejatinya adalah potensi demografis yang bisa menggerakkan bangsa menuju lompatan peradaban. Namun potensi itu melemah ketika arah nilai-nilai dasarnya kabur.

 

Survei Litbang Kompas (2024) menunjukkan hanya 37 persen pemuda yang memahami makna Sumpah Pemuda secara substansial, sementara selebihnya memaknainya sekadar peringatan sejarah atau seremoni tahunan.

 

Krisis ini bukan soal jumlah, melainkan kualitas kesadaran. Indeks Pembangunan Pemuda (Kemenpora, 2024) memang mencatat skor nasional sebesar 56,33, naik tipis dari tahun sebelumnya, tetapi komponen partisipasi sosial justru menurun ke angka 43,33. Ini menunjukkan gejala serius: penurunan keterlibatan pemuda dalam kegiatan sosial, politik, dan komunitas. Di tengah ledakan media digital, solidaritas sosial malah menguap, digantikan oleh “keterlibatan virtual” yang miskin makna.

 

Lebih mengkhawatirkan lagi, citra pemuda di mata publik juga menurun. Survei Kompas (2024) menyebut 43 persen responden menilai generasi muda sekarang berperilaku negatif: konsumtif, intoleran, dan mudah terseret budaya instan. Artinya, narasi besar tentang “bonus demografi” tampak makin rapuh bila tidak disertai pembentukan karakter dan teladan moral yang nyata.

 

Krisis keteladanan ini tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari lingkungan yang menormalisasi kepalsuan. Para elite politik memberi contoh buruk dengan mempertontonkan kerakusan kekuasaan dan politik uang. Tokoh publik berlomba membangun citra ketimbang makna. Maka ketika anak muda meniru gaya hidup oportunistik dan permisif, mereka sebenarnya hanya meniru para “guru” yang lebih tua — para pemimpin yang kehilangan integritas.

 

Dalam kondisi seperti ini, ajakan untuk “membangkitkan semangat pemuda” terasa hampa. Bagaimana pemuda bisa bangkit bila sistem sosial dan politik justru mematikan idealisme mereka? Banyak anak muda berprestasi tersingkir karena nepotisme, sementara mereka yang pandai menjilat justru mendapat tempat. Maka, kemerosotan moral generasi muda tidak bisa dilepaskan dari kegagalan struktur sosial yang lebih besar: negara, pendidikan, dan keluarga.

 

Sumpah Pemuda dulu lahir dari semangat kesadaran, bukan instruksi kekuasaan. Ia adalah pernyataan politik anak muda terhadap masa depan bangsa — lahir dari kegelisahan yang otentik. Kini semangat itu tereduksi menjadi jargon kosong yang diucapkan pejabat yang bahkan tak memahami substansinya.

 

Tugas sejarah generasi muda hari ini bukan sekadar mengenang sumpah, tapi menagih teladan. Bangsa ini tidak kekurangan pemuda cerdas, tapi kekurangan figur yang bisa dipercaya. Karena tanpa keteladanan moral, kecerdasan hanya melahirkan oportunis baru dengan wajah muda dan bahasa digital.

 

Pemuda harus kembali menjadi kaum pembaru — bukan sekadar pengikut tren atau buzzer politik. Dan negara, jika sungguh ingin membangkitkan semangat itu, mesti terlebih dahulu memberi ruang yang adil, bukan sekadar panggung seremonial. Tanpa itu, setiap peringatan Sumpah Pemuda hanya akan jadi pengulangan dari krisis yang sama: banyak bicara tentang perubahan, tapi diam dalam kemunafikan.

 

Budi Setiawan, Penulis adalah Pemerhati sosial politik, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, mantan jurnalis senior ibukota