Tanggal 29 Oktober Diperingati Sebagai Hari Internet Internasional

JAKARTA, TINTAHIJAU.com — Pada malam 29 Oktober 1969, di sebuah laboratorium kecil di California, dua komputer mencoba saling menyapa. Pesan yang diketik sederhana: “LOGIN.” Namun, sebelum kata itu lengkap, sistem keburu crash. Hanya dua huruf yang berhasil terkirim: “LO.”

Siapa sangka, dua huruf itu jadi salam pembuka bagi dunia digital modern — awal dari kisah panjang internet yang hari ini menghubungkan miliaran manusia tanpa batas ruang dan waktu.

Dari Proyek Militer Jadi Jaringan Dunia

Internet tidak lahir dari ide bisnis atau startup cemerlang, melainkan dari rasa takut.
Tepatnya, ketakutan akan perang nuklir di era Perang Dingin.

Departemen Pertahanan Amerika Serikat kala itu butuh sistem komunikasi yang tetap hidup meski sebagian jaringan hancur. Maka, lahirlah proyek ARPANET, yang dipimpin oleh ilmuwan visioner Joseph Carl Robnett Licklider.

Dari sini muncul teknologi revolusioner: packet switching, cara mengirim data dengan memecahnya menjadi potongan-potongan kecil agar tetap bisa sampai meski sebagian jalur rusak.

Dan di malam 29 Oktober 1969, ARPANET berhasil mengirim pesan pertamanya. Dua huruf — “LO” — menandai lahirnya dunia maya.

Simbol @ dan Jejak Sang “Bapak Internet”

Beberapa tahun setelah “LO”, inovasi terus bergulir.
Tahun 1971, Ray Tomlinson mengirim email pertama di dunia dan memperkenalkan simbol @, tanda yang kini menjadi ikon kehidupan digital kita.

Tak lama kemudian, Vint Cerf dan Bob Kahn menciptakan TCP/IP, bahasa universal yang memungkinkan berbagai jaringan komputer saling terhubung.
Inilah pondasi dari internet global — “a network of networks.”

Lalu datang Tim Berners-Lee, ilmuwan asal Inggris yang pada 1989 menciptakan World Wide Web (WWW).
Lewat HTML dan HTTP, ia membuka jalan bagi situs web, mesin pencari, dan semua hal yang kini memenuhi tab browser kita.

Indonesia Menyapa Dunia

Bagi Indonesia, tanggal 29 Oktober juga punya arti tersendiri.
Hari ini diperingati sebagai Hari Internet Nasional, mengenang momen bersejarah tahun 1994, ketika jaringan internet Indonesia resmi tersambung ke dunia internasional lewat gateway IPTEKnet milik BPPT.

Sebelumnya, internet hanya digunakan di kampus dan lembaga riset. Baru pada 1996, lewat layanan dial-up TelkomNet, masyarakat umum bisa “online” untuk pertama kalinya.
Dari bunyi “kriiit-kriiit” modem di era 90-an, kini kita hidup dalam dunia serba cepat — streaming, e-commerce, cloud, dan media sosial dalam genggaman.

Dunia yang Selalu Online

Hari ini, lebih dari 5,5 miliar manusia terhubung ke internet.
Ada 79 zettabyte data beredar setiap tahun, 14 miliar perangkat Internet of Things aktif, dan ribuan satelit yang menjaga konektivitas bumi.

Internet telah menjadi urat nadi peradaban modern — mengubah cara kita bekerja, belajar, berbelanja, hingga menjalin hubungan.
Namun, di balik semua kemudahan, ada tanggung jawab besar: menjaga etika digital, melawan hoaks, dan melindungi privasi.

Bukan Sekadar Teknologi, tapi Budaya Baru

Internet bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia sudah menjadi gaya hidup, ruang ekonomi, panggung kreativitas, dan medan ideologi.
Ia membuat dunia terasa kecil, tapi juga menuntut kita berpikir besar.

Karena sejatinya, internet adalah cermin manusia modern — cepat, kreatif, dan selalu ingin terhubung.

Dari “LO” ke “Hello, World!”

Lebih dari setengah abad sejak pesan “LO” pertama dikirim, dunia tak pernah lagi sama.
Setiap 29 Oktober, kita diingatkan bahwa dua huruf itu bukan sekadar pesan gagal, tapi simbol keberhasilan terbesar umat manusia: membuka pintu komunikasi tanpa batas.

Dari “LO” yang sederhana, kini kita berkata, “Hello, world.”
Dan dunia pun menjawab — dengan koneksi tanpa henti.