Majalengka, TINTAHIJAU.COM – Siapa bilang punya hutan sendiri itu hanya mimpi? Di tangan para pelaku ekonomi kreatif (Ekraf) Jatiwangi art Factory (JaF), gagasan yang terdengar mustahil itu kini menjadi nyata melalui program Perhutana (Perusahaan Hutan Tanaraya).
Lewat inisiatif ini, setiap orang bisa memiliki sebidang kecil hutan berukuran 4×4 meter—sebuah simbol sederhana tentang kepedulian terhadap bumi, oksigen, dan masa depan.
“Awalnya ini cuma hasil diskusi bulanan kami di forum JaF. Kami membicarakan soal hutan dan akhirnya sadar, selama ini generasi kita hanya menikmati warisan alam, tapi tidak banyak mewariskannya,” ujar Ginggi Syarif Hasyim, Direktur Perhutana, saat ditemui di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kamis (6/11/2025).
Dari Diskusi Jadi Gerakan Kolektif
Ginggi bercerita, ide ini bermula dari pertanyaan sederhana: seberapa kecil ukuran hutan yang bisa disebut hutan?
“Jawabannya ternyata empat meter kali empat meter. Hutan itu prinsipnya ada empat unsur—tanaman payung, tegakan, semak, dan penutup tanah. Jadi dalam ukuran sekecil itu pun, prinsip ekosistem hutan bisa terbentuk,” ujarnya.
Dari sinilah lahir konsep ‘Hutan Kolektif’ setiap orang bisa membeli kavling kecil seluas 4×4 meter di lahan yang kini tengah dibangun menjadi Hutan Tanaraya.
Harga satu kavling ditetapkan sebesar Rp4 juta, dan hingga kini sudah ada 145 orang yang menjadi bagian dari Perhutana Family Forest.
“Mereka sudah punya kavlingnya masing-masing. Setelah dibayar, lahan itu kami tanami dan sertifikatnya diberikan. Tapi kepemilikannya diwakafkan kembali untuk hutan,” jelas Ginggi.
Hutan Sebagai “Pabrik” Oksigen
Bagi Ginggi dan kawan-kawannya, gagasan ini bukan urusan bisnis. Lebih dari itu, ini soal kesadaran akan kebutuhan paling dasar manusia—oksigen.
“Kita sering resah kalau tidak punya rumah, kamar tidur, atau dapur. Tapi jarang resah soal tempat yang memproduksi oksigen untuk kita hirup setiap hari,” ujarnya.
Hutan Tanaraya, lanjut Ginggi, bukan sekadar ruang hijau, tapi juga ruang edukasi dan refleksi kolektif. “Kami ingin setiap orang sadar bahwa oksigen itu tidak gratis. Ia hasil kerja ekosistem yang harus kita jaga bersama.”
Warisan untuk Generasi Selanjutnya
Hutan Tanaraya berdiri di atas lahan 8 hektar, di mana sekitar 2 hektar sudah mulai ditanami berbagai jenis pohon. Ginggi berharap, gerakan ini menjadi warisan baru—bukan berupa harta, tapi kesadaran ekologis.
“Generasi kita ini tidak miskin-miskin amat. Yang penting kita punya kemauan untuk meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi generasi berikutnya. Jangan cuma pandai menikmati warisan,” tuturnya.
Baginya, setiap kavling kecil di Hutan Tanaraya bukan sekadar sepetak tanah. Ia adalah simbol harapan, oksigen, dan warisan hidup yang tumbuh dari tangan-tangan warga biasa.
“Kalau setiap orang punya sepetak hutan, mungkin bumi akan bernapas lebih lega,” pungkas Ginggi dengan senyum.






