HIKMAH: Ketika Fitnah Jadi Hiburan

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, ketika arus unggahan, komentar, dan potongan video bergerak begitu cepat, ada satu hal yang diam-diam ikut membesar: fitnah. Jika dulu fitnah menyebar melalui bisik-bisik, kini ia berjalan lewat layar ponsel dalam hitungan detik, menjangkau siapa saja tanpa batas.

Sebagai umat yang menerima panduan dari Al-Qur’an dan teladan Nabi, kita sebenarnya telah diingatkan lama sebelum era digital datang. Allah berfirman:

“Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 191)

Ayat ini terasa kian relevan hari ini, ketika satu potongan informasi bisa merusak martabat seseorang hanya karena kita tergesa-gesa menekan tombol “bagikan”.

Ringan di Jemari, Berat di Sisi Allah

Rasulullah SAW bersabda:

“Cukuplah seseorang berdosa ketika ia menyampaikan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Inilah sifat yang sering muncul di media sosial: kecenderungan membagikan apa pun yang lewat tanpa tabayyun, tanpa jeda untuk berpikir, tanpa empati kepada siapa pun yang menjadi sasaran.

Padahal dalam Islam, fitnah, baik berupa tuduhan keji, penyebaran hoaks, maupun komentar yang menyesatkan, memiliki konsekuensi jelas. Ada hukuman bagi fitnah yang terukur, dan ada pula sanksi moral serta tanggung jawab akhirat yang tidak bisa dihindari. Pahala pelaku akan diberikan kepada korban-korbannya, sampai tidak tersisa.

 

Ketika Fitnah Dibungkus Narasi Digital

Fenomena hari ini membuat kita melihat bentuk fitnah yang lebih rapi: video yang diedit, narasi yang dipelintir, akun-akun tanpa identitas yang melontarkan tuduhan. Fitnah seolah hadir sebagai hiburan. Namun korbannya tetap manusia nyata. Mereka punya keluarga, punya kehormatan, punya kehidupan yang bisa runtuh hanya karena satu unggahan.

Sering kali yang membuat fitnah menyebar bukanlah niat jahat, tetapi kelalaian. “Ramai” dianggap “benar”. “Viral” dianggap “fakta”. Padahal Allah memberi peringatan tegas:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seseorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya…”

(QS. Al-Hujurat: 6)

 

Tanpa tabayyun, kita menjadi bagian dari rantai kerusakan yang semakin panjang.

Kezaliman yang Tanpa Disadari Kita Pelihara

Yang menyedihkan, sebagian orang mulai menganggap fitnah sebagai hal biasa di dunia maya. Komentar tajam dianggap hiburan. Menjatuhkan seseorang dianggap kewajaran. Padahal setiap kata tetap tercatat. Setiap unggahan tetap akan dimintai pertanggungjawaban.

Fitnah tidak pernah menjadi ringan hanya karena ia ditulis di dunia digital. Ia tetaplah kezaliman, dan kezaliman sekecil apa pun tetap berimplikasi besar.

 

Menutup dengan Perenungan: Diam Adalah Hikmah

Di era ketika jari lebih cepat dari akal, kita perlu kembali pada nilai dasar: kehati-hatian, adab, dan tanggung jawab moral. Melawan fitnah tidak selalu dimulai dari tindakan besar. Ia dimulai dari kebiasaan kecil:

• Menahan diri sebelum mengunggah.

•  Memeriksa sebelum mempercayai.

•  Berpikir sebelum berkomentar.

• Dan jika ragu, memilih diam.

 

Karena diam kadang bukan kelemahan, tetapi bentuk ketakwaan.

Fitnah memang dosa lama. Namun hari ini ia memiliki sayap digital yang membuatnya terbang jauh lebih cepat. Di tengah kondisi itu, tiap kita punya peran untuk menjaga kedamaian, menjaga nama baik sesama, dan menjaga diri sendiri dari dosa yang bahkan disebut Al-Qur’an lebih kejam daripada pembunuhan.

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang menjaga lisan, menjaga tulisan, dan menjaga hati. Aamiin.