CIREBON, TINTAHIJAU.com — Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan komitmennya untuk meningkatkan mutu layanan di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Salah satu langkah yang ditempuh adalah penerapan insentif fasilitas SPPG sebesar Rp6 juta per hari operasional bagi unit layanan yang memenuhi standar operasional prosedur (SOP). Sebaliknya, insentif akan dipotong apabila SPPG gagal menerapkan SOP yang telah ditetapkan.
Wakil Kepala BGN, Nanik Sudaryati Deyang, mengingatkan seluruh pengelola SPPG agar tidak terlena dengan besarnya insentif. Ia menyoroti adanya fasilitas yang tidak terawat, bahkan hingga menyebabkan staf harus patungan membeli peralatan.
“Anda jangan keenakan dengan insentif besar ini. Sudah dapat Rp6 juta per hari kok malah ongkang-ongkang. Blender rusak nggak mau ganti, akhirnya Kepala SPPG, Ahli Gizi, dan Akuntan patungan beli blender. Gimana tuh,” kata Nanik dalam arahannya pada acara Koordinasi dan Evaluasi Program BGN di Hotel Aston Cirebon, Minggu (7/12/2025).
Insentif Tidak Bergantung Jumlah Porsi
Direktur Sistem Pemenuhan Gizi, Eny Indarti, menjelaskan bahwa insentif fasilitas SPPG merupakan pembayaran tetap sebagai kompensasi atas kesiapsiagaan fasilitas sesuai standar BGN. Besaran Rp6 juta per hari berlaku untuk dua tahun pertama dan akan dievaluasi berikutnya.
“Pembayaran insentif tidak bergantung pada jumlah porsi,” ujarnya.
Namun, pemberian insentif ini menimbulkan kecemburuan di kalangan mitra dan yayasan. Nanik mengaku menerima protes dari pihak yang menilai standar penilaian tidak adil.
“Masa saya yang sudah bangun dapur 400 meter persegi disamakan dengan dapur-dapur sekarang yang kurang dari 400 meter persegi,” ujarnya menirukan keluhan mitra.
Penilaian Tetap Mengedepankan Keadilan
Untuk menjawab keberatan tersebut, Nanik memastikan bahwa BGN tetap menjunjung prinsip keadilan. Penilaian fasilitas dilakukan oleh tim appraisal independen.
“Kalau ternyata dapur anda tidak sesuai standar, atau nilainya rendah, insentif fasilitas akan dipangkas. Jangan sembarangan,” tegasnya.
Selain memenuhi SOP dan standar dapur yang ditentukan MBG, setiap SPPG juga wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), IPAL, dan Sertifikat Halal, sementara para relawan diwajibkan mengikuti Pelatihan Penjamah Makanan.
Capaian SLHS di Kota dan Kabupaten Cirebon
Nanik memaparkan progres SLHS di wilayah Cirebon:
- Kota Cirebon: Dari 21 SPPG, 15 sudah memiliki SLHS, 11 dalam proses pengajuan, dan 2 belum mendaftar.
- Kabupaten Cirebon: Dari 139 SPPG, 106 telah memiliki SLHS, 24 sedang diuji, dan 9 belum mengajukan.
Ia memberi tenggat waktu satu bulan bagi SPPG yang belum mendaftar SLHS.
“Kalau dalam 1 bulan belum juga mendaftarkan diri ke Dinas Kesehatan, saya perintahkan agar di-suspend,” tegasnya.
Apresiasi untuk Pemerintah Kota Cirebon
Dalam kesempatan itu, Nanik mengapresiasi langkah Sekda Kota Cirebon Sumanto selaku Ketua Satgas MBG yang melarang SPPG menyalurkan Makanan Bergizi (MBG) kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan balita apabila belum memiliki SLHS. Ia juga memuji Kepala Dinas Ketahanan Pangan Wati Prihastuti, yang telah menyiapkan pelatihan rapid test pangan.
“Saya setuju dengan aturan itu. Juga dengan rencana pelatihan rapid tes dari Dinas Ketahanan Pangan,” kata Nanik.
BGN menegaskan bahwa peningkatan standar pelayanan gizi merupakan langkah penting demi menjamin kualitas layanan dan keamanan pangan bagi masyarakat, terutama kelompok rentan. Dengan penerapan insentif dan sanksi tegas, pemerintah berharap seluruh SPPG dapat menjalankan fungsi layanan sesuai standar yang telah ditetapkan.




