BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Angka perceraian di Kabupaten Bandung kembali menjadi sorotan setelah Pengadilan Agama (PA) Soreang mencatat ribuan perkara selama tahun 2025. Beragam faktor disebut menjadi pemicu, mulai dari persoalan ekonomi, judi online (judol), kehadiran orang ketiga, hingga pengaruh minuman keras (miras).
Humas Pengadilan Agama Soreang, Samsul Zakaria, mengungkapkan bahwa sepanjang 2025 terdapat sekitar 8.400 perkara perceraian yang masuk ke pengadilan. Dari jumlah tersebut, sekitar 7.200 perkara telah diputus, yang terdiri dari 5.600 cerai gugat dan 1.400 cerai talak.
“Total perkara perceraian yang diterima termasuk perkara lainnya sudah 8.400-an tahun 2025,” kata Samsul kepada wartawan, Rabu (10/12/2025).
Ekonomi Jadi Penyebab Terbesar
Samsul menjelaskan bahwa konflik yang terus berulang menjadi pemicu utama retaknya hubungan rumah tangga. Namun, dalam banyak kasus, persoalan tersebut biasanya berakar pada masalah ekonomi.
“Masalah nafkah atau masalah ekonomi ya. Di persidangan biasanya disebut sebagai risiko. Itu yang paling banyak memang,” ujarnya.
Selain faktor ekonomi, penyebab lain yang turut memicu perceraian adalah judi online, kehadiran pihak ketiga, kebiasaan mabuk, serta perilaku meninggalkan pasangan dalam jangka waktu panjang.
“Faktor lainnya ada karena judi online, adanya orang ketiga, kemudian ada mabuk, dan ada juga karena meninggalkan salah satu pihak,” tambahnya.
Tidak Mengenal Usia
Samsul menegaskan bahwa keputusan bercerai dapat datang dari pasangan usia berapa pun. Baik pasangan yang baru menikah maupun yang sudah lanjut usia tidak sedikit yang mengajukan gugatan.
“Mulai dari yang baru nikah sampai yang usia lanjut pun ada yang cerai,” katanya.
Mediasi Tidak Selalu Berujung Rujuk
Seluruh perkara perceraian wajib melalui proses mediasi terlebih dahulu. Namun, hasilnya tidak selalu membuat pasangan kembali rukun.
“Mediasi itu tidak semuanya harus rukun kembali. Ada yang rukun kembali, ada juga yang hanya berhasil sebagian,” jelas Samsul.
Keberhasilan sebagian yang dimaksud biasanya berkaitan dengan kesepakatan mengenai pengasuhan anak, pembagian harta bersama, hingga penentuan nafkah iddah dan mut’ah.
“Jadi mereka cerai dengan cara yang baik, kira-kira begitu,” tambahnya.
Perlu Sinergi untuk Tekan Angka Perceraian
Menurut Samsul, upaya menekan tingginya angka perceraian tidak bisa dilakukan hanya oleh pengadilan. Dibutuhkan kerja sama lintas sektor, termasuk Forkopimda Kabupaten Bandung, untuk memberikan edukasi langsung kepada masyarakat.
“Pengadilan ini ujung dari problematika masyarakat. Jadi tidak bisa kalau pengadilan mengambil langkah proaktif sendiri. Dibutuhkan sinergi,” tegasnya.
Dengan angka perkara yang terus meningkat, berbagai pihak diminta untuk lebih aktif melakukan pencegahan agar masalah-masalah sosial yang memicu perceraian dapat diminimalisir sejak awal.




