BANDUNG, TINTAHIJAU.com – Di antara riuh sunyi panggung yang tak pernah benar-benar padam dan denting gitar yang mengiris pelan, nama Ipit Saefidier Dimyati berdiri seperti seuntai biola lama: bening, setia, dan tak lekang oleh musim.
Ia doktor teater yang tidak memilih menara gading, melainkan memilih berdiam di tepi lagu—membiarkan dirinya mengalir sebagai puisi yang bernapas. Dari ruang akademik hingga relung paling pribadi, ia melangkah pelan tapi pasti, bagai seorang pengembara yang tahu bahwa seni bukan sekadar tujuan, melainkan jalan pulang.

Ia dosen, peneliti, penulis, musisi—tetapi sebenarnya ia hanya satu: seorang seniman yang menolak dibatasi panggung.
Doktor Teater yang Menyanyi Lewat Balada
Bergelar doktor dalam ilmu teater, Ipit dapat saja menjadikan panggung ilmiah sebagai ranjang meganya. Namun ia memilih balada—medium yang lebih jujur, lebih rapuh, lebih manusia—untuk mengumandangkan eksistensinya. Ia hidup di antara kata dan nada, seakan keduanya adalah dua tangan yang menuntunnya menuju kedalaman diri.
Sejak muda, ia mengakrabi bahasa: artikel, prosa, fiksi, puisi—semuanya menjadi perahu yang membawanya ke berbagai hamparan gagasan. Kini ketika usia mulai bersandar pada senja, Ipit justru kembali pada mata air terdalamnya: musik. Ia menghidupkan kembali kegelisahan lama—menggubah lagu, menyanyi pelan, merawat kegetiran dan harapan seperti membina taman kecil di tengah cuaca yang berubah-ubah.
Jejak Pendidikan: Dari Teater hingga Antropologi Seni
Riwayat pendidikan Ipit adalah peta panjang pencarian manusia yang ingin memahami ruh kesenian:
- SPG Negeri Sukabumi, pijakan awal yang memperkenalkannya pada ruang pendidikan
- Jurusan Teater, ASTI Bandung (kini ISBI Bandung)
- Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
- Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia
- Antropologi Seni, Universitas Padjadjaran
Dari sana ia menuntun hidupnya menuju dunia akademik, menjadi pengajar di ISBI Bandung—di Jurusan Teater yang membesarkan intuisi sekaligus nalar humanistiknya. Di lingkungan kampus, ia bukan hanya dosen; ia adalah jembatan antara ilmu, tradisi lokal, dan panggung kehidupan.

Karya dan Pikiran yang Menjadi Denyut Waktu
Melalui tulisan ilmiah, Ipit seolah menegaskan bahwa dunia pertunjukan bukan sekadar tontonan—ia adalah cermin, ideologi, dan perlawanan. Beberapa di antaranya menjadi penanda perjalanan intelektualnya:
- Komunikasi Teater Indonesia (2010), pembacaan ulang pada bahasa kelir
- Kearifan Lokal Hajat Laut Budaya Maritim Pangandaran (2020), merawat laut sebagai ingatan kolektif
- Jeprut: Perlawanan terhadap Hegemoni Kekuasaan (2014), teater sebagai senjata kesadaran
- Pluralitas Makna Seni Pertunjukan dan Representasi Identitas (2004), seni sebagai ruang tafsir
- Kajian musik kontemporer berbasis bambu, hingga peta kelompok teater di Bandung
- Hingga gagasannya tentang ideologi di balik Studiklub Teater Bandung
Tulisan-tulisan itu seperti deretan not balada—lirih, namun menggugah nalar.
Potret Diri: Di Antara Ilmu dan Kesunyian Musik
Dalam lagu-lagu balada yang ia dendangkan, Ipit seakan memeluk kembali nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini ia kaji. Musik bukan pelarian; musik adalah rumah paling sunyi, tempat ia menyandarkan kepala setelah pergulatan teori dan riset.
Kini, menapaki usia purnabakti, ia tidak sedang menutup bab. Ia sedang membuka atap langit agar cahaya baru bisa masuk. Ia menyadari: senja bukan pamit—senja adalah jeda sebelum bintang tumbuh.
Balada, puisi, dan teater baginya bukan profesi—melainkan cara bernafas. Di tengah diam yang produktif, ia terus menyusun dunia: dengan kata, dengan nada, dengan makna.
Tanpa hingar—namun dengan gema yang akan lama tinggal.
Penulis: Kin Sanubary | Editor: Oki Rosgani











