SUBANG, TINTAHIJAU.COM – Di sebuah desa pesisir di Kecamatan Blanakan, tepatnya di Desa Rawaneneng, semangat pendidikan agama terus menyala dari balik suara anak-anak yang melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an setiap ba’da maghrib.
Suara itu datang dari surau-surau kecil, mushola, dan masjid yang tak pernah sepi oleh langkah-langkah kecil para santri cilik. Di balik kegiatan itu, ada tangan senyap yang turut menjaga bara pendidikan iman tetap menyala: H. Adik, Anggota DPRD Kabupaten Subang dari Fraksi PDI Perjuangan.
Tanpa publikasi luas, H. Adik secara pribadi menggaji empat guru ngaji di desa tersebut. Sejak 2022, masing-masing guru itu menerima honor Rp800 ribu per bulan, uang yang diambil langsung dari kantong pribadinya. Bukan karena berlebih harta, tapi karena ada keyakinan kuat bahwa rezeki yang dititipkan padanya, sebagian adalah hak para pengabdi ilmu agama.
“Guru ngaji ini berjasa besar. Mereka membuat anak-anak bisa mengenal huruf-huruf Al-Qur’an, tahu dasar agama, dan akhlak. Mereka bukan hanya pengajar, tapi penjaga moral generasi,” tutur H. Adik saat ditemui TINTAHIJAU.COM.
Keputusan menggaji guru ngaji, menurut H. Adik, bukan soal angka semata. Lebih dari itu, sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka yang kadang luput dari perhatian. Ia mengaku, keikhlasan para guru itulah yang menggerakkannya.
“Berapapun kita kasih, tidak akan cukup untuk membayar jasa mereka. Tapi saya percaya, sekecil apapun, bisa membantu dan membahagiakan mereka,” ujarnya.
Kepedulian H. Adik tak berhenti di situ. Sejak 2019, ia telah memberangkatkan 14 guru ngaji untuk menunaikan ibadah umrah. Awalnya, ia menanggung seluruh biaya keberangkatan mereka. Namun dalam perjalanannya, ia mulai membuka ruang kontribusi dari para guru dengan sistem 50:50.
“Ada yang memberi masukan agar separuhnya ditanggung sendiri. Supaya mereka juga merasa perjuangan untuk bisa sampai ke sana. Hasilnya justru lebih banyak yang bisa diberangkatkan,” jelasnya.
Pada 2022 saja, dua guru ngaji dari Desa Rawaneneng sudah diberangkatkan. Bagi mereka yang terbiasa hidup sederhana dan mengabdi di kampung, umrah ke tanah suci adalah mimpi yang jauh. Tapi lewat bantuan H. Adik, mimpi itu menjadi nyata.
Yang dilakukan H. Adik bukan sekadar program filantropi. Lebih dari itu, ia ingin membangun kesadaran bersama bahwa pendidikan agama anak-anak adalah tanggung jawab kolektif.
“Guru ngaji ini ibarat cahaya kecil yang menerangi rumah-rumah di kampung. Kalau kita biarkan mereka padam karena tak dihargai, siapa lagi yang akan menjaga anak-anak kita dari buta aksara Al-Qur’an?” katanya.
Menginspirasi, Bukan Pamer
Meski apa yang dilakukannya bernilai besar, H. Adik tak pernah menggembar-gemborkannya di depan umum. Bahkan sebagian besar warga baru mengetahui program umrah dan penggajian guru ngaji ini dari cerita para penerima manfaat.
“Saya cuma ingin ini jadi pemantik. Saya berharap ada yang ikut, meskipun cuma bantu Rp100 ribu per bulan, itu sudah sangat berarti. Karena kalau bukan kita yang bantu guru-guru ngaji ini, siapa lagi?” ucapnya lirih.
Ketulusan H. Adik menjadi pengingat bahwa politik sejatinya bukan hanya tentang kekuasaan dan panggung. Tapi bisa menjadi jalan sunyi untuk menebar kebaikan. Ia meyakini, keberkahan rezeki seseorang bukan dari seberapa banyak yang dikumpulkan, tetapi dari seberapa banyak yang dibagi.
“Saya percaya, dari setiap rezeki kita, ada bagian rezeki orang lain yang dititipkan. Termasuk rezeki para guru ngaji itu.”
Di tengah bisingnya politik yang kadang sarat pencitraan, langkah senyap H. Adik menjadi napas segar. Bukan hanya karena jumlah bantuannya, tapi karena ia hadir tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan: menjaga cahaya ilmu agama tetap hidup di desa-desa kecil.