Ragam  

Jembatan Jesse Park Subang, Saksi Bisu Sejarah Kota Subang Era Belanda yang Butuh Perhatian Serius

SUBANG, TINTAHIJAU.COM – Di tengah hiruk pikuk perkembangan Kota Subang, terdapat sebuah warisan sejarah yang kian terlupakan: Jembatan Jesse Park. 

Jembatan yang sudah ada di tahun 1940an ini menjadi salah satu penanda penting perkembangan kota sekaligus saksi bisu kehidupan masyarakat dari masa ke masa.

Berada di pusat kota, Jembatan Jesse Park menghubungkan Jl. Wangsa Gofarana dengan Jl. Jendral A. Yani, dua jalur alternatif dalam mobilitas masyarakat Subang. Meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, jembatan ini masih digunakan warga setiap harinya, baik oleh pejalan kaki maupun pengendara motor.

Jembatan ini dulunya merupakan bagian integral dari kawasan Jesse Park, sebuah taman kota peninggalan era kolonial yang membentang di sekitar Kali Cipanggilingan, tepat di belakang Gedung Satpol PP Subang saat ini. Pada masa jayanya, taman ini dikenal sebagai ruang hijau yang asri dan menjadi tempat bersantai bagi warga. Jesse Park menjadi semacam “paru-paru kota” di masa lalu, sebelum pembangunan modern mengubah wajah Subang.

Salah satu hal menarik dari Jembatan Jesse Park adalah dua buah tiang lampu besi yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Tiang lampu tersebut diyakini merupakan tiang asli dari era awal pembangunan jembatan, menjadikannya elemen visual yang penuh nilai sejarah. Bagi sebagian warga, tiang-tiang ini bukan hanya penerang jalan, melainkan simbol dari Subang tempo dulu yang kini nyaris terlupakan.

Sayangnya, kondisi jembatan dan area sekitarnya saat ini sangat memprihatinkan. Jalan di sekitar jembatan rusak parah, berlubang dan sering tergenang air, terutama saat hujan turun. Tak hanya itu, sisi-sisi jalan dipenuhi belukar dan tanaman liar yang tumbuh tak terkendali, menciptakan kesan kumuh dan kurang aman bagi pengguna jalan.

Keadaan ini sangat disayangkan, mengingat lokasi jembatan yang berada di pusat kota dan dekat dengan fasilitas publik. Jembatan yang seharusnya menjadi simbol sejarah dan potensi wisata justru tenggelam dalam ketidakpedulian.

Melihat kondisi ini, sejumlah komunitas warga, seperti Paguyuban Sadulur Enhar, mulai mengambil langkah nyata. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah melakukan kegiatan bersih-bersih, pengecatan ulang jembatan, serta kampanye peduli lingkungan di area tersebut.

“Jembatan Jesse Park bukan sekadar penghubung jalan, tapi penghubung antara masa lalu dan masa depan. Kalau kita biarkan rusak, berarti kita biarkan sejarah kita hilang,” ujar salah seorang warga, Pramono 

Warga juga berharap adanya dukungan lebih dari pemerintah daerah, baik dalam bentuk perbaikan infrastruktur jalan, perawatan taman kota, hingga penataan kembali kawasan irigasi Kali Cipanggilingan yang mengalir di bawah jembatan.

Potensi Wisata Sejarah yang Terlupakan

Jika ditata dengan baik, kawasan Jesse Park bisa menjadi destinasi wisata sejarah lokal. Keberadaan jembatan tua, kanal irigasi peninggalan Belanda, dan sisa-sisa taman kota bisa dikemas sebagai edukasi sejarah bagi generasi muda.

Saat ini, hanya segelintir orang yang menyadari bahwa mereka melintasi jembatan bersejarah setiap harinya. Hal ini bisa berubah jika kawasan tersebut diberi perhatian, dilengkapi dengan papan informasi sejarah, pencahayaan yang baik, dan fasilitas umum yang mendukung.

Jembatan Jesse Park bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi juga bagian dari identitas Kota Subang hari ini. Merawatnya berarti menghargai sejarah dan menunjukkan arah masa depan yang lebih peduli terhadap lingkungan dan budaya lokal.

Kini saatnya Subang menengok kembali warisan-warisan kotanya. Jangan sampai, jembatan yang sudah berdiri sejak 1940-an ini hanya dikenang dalam kenangan—karena tergerus oleh lupa dan ketidakpedulian.

Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari TINTAHIJAU.COM, Klik Disini dan Klik ini