OPINI: Kritik RG dan Reaksi Kekuasaan Implisit

PERNYATAAN verbal Rocky Gerung (RG) beberapa waktu lalu yang dinilai “kasar” kepada kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai polemik. Dalam merespons kebijakan pemerintah, RG memang terbiasa dengan lugas menyuarakan pandangannya. Ia menggunakan kata-kata tajam untuk mengkritik. Dalam mengekspresikan ketidaksetujuannya, RG bahkan mengungkapkan keberanian menantang pemimpin dan kebijakannya.

Atas dasar hak kebebasan berpendapat, ekspresi kebebasan berbicara RG mendapat dukungan dari publik yang kritis pada pemerintah. Namun juga ada yang menentang dengan alasan “menghina lambang negara”. Beberapa kelompok bahkan menuntut agar RG ditangkap dan diadili. Eksposisi ini memang menciptakan ruang untuk tafsir yang beragam, namun juga membuka jalan bagi debat lebih lanjut.

Baca Juga:  Ketika Media Sosial Menjadi Ruang Kampanye Politik

Bagi kelompok pro demokrasi penuntutan hukum terhadap RG dinilai bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat. RG memiliki hak mengkritik pemerintah, dan hak ini dijamin oleh konstitusi Indonesia. Meskipun pernyataan RG mungkin dianggap kasar atau tidak pantas oleh sebagian orang, namun hal itu tidak berarti bahwa ia harus dihukum.

Sebaliknya, reaksi keras pendukung Jokowi yang memandangnya sebagai penghinaan terhadap kepemimpinan dan lambang negara menjadi perdebatan menarik, yang bisa dianalisis melalui perspektif impuls kekuasaan – sebagaimana pernah dikemukakan filsuf Amerika, Bertrand Russell dalam bukunya “Power: A New Social Analysis” (1938).

Baca Juga:  14 September Diperingati Sebagai Hari Kunjung Perpustakaan

Russell menjelaskan impuls (dorongan atau reaksi) kekuasaan memiliki dua bentuk, yakni eksplisit (ada pada pemimpin) dan implisit (para pendukung atau pengikutnya). Manusia, menurutnya, suatu saat akan sukarela mengikuti seorang pemimpin dengan tujuan memperoleh kekuasaan. Dengan begitu kemenangan dianggap milik mereka juga. Karenanya sosok pemimpin yang berani dan memutuskan kebijakan dibutuhkan untuk mencapai supremasi itu.

Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Jokowi – yang bersikap berhati-hati dalam menanggapi kritikan tajam RG – dinilai pendukungnya tidak memanfaatkan dorongan kekuasaan eksplisit yang ada dalam dirinya. Padahal, di mata mereka, kritikan RG dianggap sebagai ancaman atas supremasi kekuasaan Jokowi. Karenanya bentuk reaksi kekuasaan implisit muncul dari pendukungnya (followers) untuk menggantikan dorongan kekuasaan eksplisit yang tak keluar dari pemimpin pujaan mereka.

Baca Juga:  Solopreneur vs Entrepreneur: Membangun Bisnis Sesuai dengan Gaya Anda

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

FOLLOW SOCMED:
FB & IG: TINTAHIJAUcom
IG & YT: TINTAHIJAUcom
E-mail: red.tintahijau@gmail.com