Di berbagai jenjang pendidikan, kita masih kerap menjumpai kenyataan yang memprihatinkan: peserta didik mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar, bahkan menghafal sejumlah ayat, namun belum memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Ironisnya, tidak sedikit pula yang belum menguasai kemampuan dasar membaca Al-Qur’an secara baik dan benar.
Fenomena ini diperkuat oleh hasil riset Puslitbangesensi Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI pada tahun 2016, yang dikutip ulang oleh Aulia dkk. (2024). Riset tersebut hingga kini masih menjadi satu-satunya kajian resmi berskala nasional yang mengukur indeks pemahaman makna ayat Al-Qur’an.
Dalam riset tersebut terungkap bahwa indeks pemahaman makna ayat Al-Qur’an pada tingkat SMA hanya mencapai angka 1,87 dari skala 5. Sementara itu, indeks tilawah berada di angka 2,59 dan tahfizh di angka 3,03. Ini menunjukkan bahwa aspek kognitif dan psikomotorik dalam pembelajaran Al-Qur’an memang mulai terakomodasi, tetapi dimensi afektif—yakni pemahaman makna yang lebih dalam—masih belum tersentuh secara optimal.
Temuan serupa juga dilaporkan oleh Iswanto dkk. (2018) dalam studi mereka terhadap peserta didik tingkat SMP di Jawa Timur. Mayoritas peserta didik menunjukkan kemampuan yang baik dalam membaca, menulis, dan menghafal, tetapi lemah dalam menerjemahkan dan memahami kandungan ayat.
Situasi ini memunculkan pertanyaan penting bagi dunia pendidikan Islam: apakah asesmen dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), khususnya dalam elemen Al-Qur’an, telah mewakili empat pilar esensial literasi Al-Qur’an: membaca, menulis, menghafal, dan memaknai? Ataukah asesmen masih sebatas ritual formal yang jauh dari esensi transformasi spiritual?
Urgensi Literasi Al-Qur’an secara Holistik dalam Kurikulum PAI
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan ilmu agama secara tekstual, tetapi juga membentuk karakter dan sikap hidup Islami yang menyeluruh. Seperti ditegaskan oleh Zakiyah Daradjat, PAI adalah proses pembinaan kepribadian berdasarkan nilai-nilai ilahiyah yang mencakup aspek kognitif, moral, dan spiritual.
Al-Qur’an dalam konteks ini bukan sekadar teks untuk dibaca atau dihafal, melainkan sumber nilai kehidupan yang harus dihayati dan diinternalisasi. Ia adalah hudan (petunjuk), furqan (pembeda antara yang benar dan salah), syifa’ (penyembuh jiwa), serta pembimbing moral dalam kehidupan sosial. Pendidikan berbasis Al-Qur’an seharusnya mendorong transformasi diri—dari mengetahui menjadi memahami, dari memahami menjadi meyakini, dan dari meyakini menuju pengamalan dalam kehidupan nyata.
PMA No. 13 Tahun 2014 telah menegaskan pentingnya empat pilar literasi Al-Qur’an: membaca, menulis, menghafal, dan memaknai. Keempatnya merupakan pendekatan integral terhadap wahyu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Membaca adalah langkah pertama dalam membangun hubungan dengan Al-Qur’an. Ia menumbuhkan rasa kagum terhadap keindahan bahasa dan struktur lafaznya. Namun, membaca saja tidak cukup. Menulis ayat atau penggalan surat tertentu melatih ketelitian dan penghargaan terhadap detail ilahiyah. Menghafal memperkuat ikatan spiritual dan memperluas daya ingat terhadap pesan-pesan Allah yang selalu hadir dalam hati dan lisan.
Namun, ketiga keterampilan ini hanya akan bermakna jika disertai kemampuan untuk memaknai. Memaknai Al-Qur’an bukan sekadar menerjemahkan kata per kata secara literal, melainkan merenungi, mentadabburi, dan mengaitkan makna ayat dengan realitas kehidupan.
Hal ini ditegaskan dengan firman Allah dalam Surah Shâd (38): 29:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Artinya: (Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberkahan Al-Qur’an baru akan dirasakan ketika kita aktif merenungkan dan menghayati maknanya. Al-Qur’an tidak diturunkan untuk dibaca secara terburu-buru atau tanpa pemahaman yang mendalam, tetapi untuk direnungkan agar kita dapat memperoleh petunjuk, keberkahan, dan menghubungkan ayat-ayat-Nya dengan fenomena alam dan kehidupan sehari-hari.
Dengan perenungan yang mendalam, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih bijaksana dan relevan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, literasi Al-Qur’an secara holistik dalam kurikulum PAI menjadi kebutuhan mendesak, terutama di tengah arus disrupsi nilai, dekadensi moral, dan berkembangnya paham-paham keagamaan yang dangkal namun populis.
Kurikulum PAI yang mengintegrasikan literasi Al-Qur’an secara menyeluruh akan membekali peserta didik dengan pengetahuan yang lebih dalam, serta membentuk karakter dan spiritualitas yang kuat.
Asesmen PAI: Antara Rutinitas dan Transformasi
Sayangnya, pola asesmen PAI di banyak sekolah masih bersifat teknis: membaca tartil, menghafal, dan menjawab soal pilihan ganda. Meskipun prosedural, pendekatan ini belum mampu menyentuh kedalaman makna atau aspek spiritual yang lebih hakiki.
Peserta didik jarang diberi ruang untuk mengekspresikan pemahaman mereka terhadap pesan ayat secara reflektif. Aktivitas menulis ayat atau mengaitkan nilai-nilainya dengan kehidupan sehari-hari pun belum menjadi praktik umum.
Beberapa studi lapangan menunjukkan bahwa guru telah mencoba berbagai metode asesmen—mulai dari tes tulis (pilihan ganda dan esai) hingga praktik membaca dan menghafal Al-Qur’an. Namun, dimensi afektif dan kontemplatif masih belum mendapatkan porsi yang memadai. Tantangan ini diperkuat oleh keterbatasan waktu pembelajaran, keragaman latar belakang peserta didik, serta fasilitas pendukung yang belum merata.
Mengapa Empat Pilar Harus Terintegrasi dalam Asesmen?
Integrasi empat pilar literasi Al-Qur’an bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan nyata dalam membentuk pribadi Muslim yang utuh—tidak hanya cakap secara kognitif, tetapi juga matang secara spiritual.
Menulis ayat dan refleksi keagamaan membantu peserta didik menyusun pemahaman dan menjadikan pengalaman spiritual lebih personal. Sementara itu, kemampuan memaknai Al-Qur’an secara kontekstual mengasah kepekaan etis dan sosial—keterampilan yang sangat relevan dalam kehidupan berbangsa.
Dengan menyatukan keempat pilar ini, asesmen PAI akan mampu menjangkau dimensi qalbiyyah (hati) dan ruhaniyyah (spiritual), yang selama ini kurang diperhatikan. Pendidikan agama harus melahirkan bukan hanya hafidz, tetapi pribadi Qur’ani—yang lembut dalam lisan, bijak dalam sikap, dan peka dalam tindakan.
Strategi Penguatan Asesmen Al-Qur’an dalam PAI
Agar asesmen PAI menjadi lebih bermakna dan transformatif, beberapa strategi berikut dapat diterapkan:
Asesmen berbasis performa
Guru dapat meminta peserta didik menulis esai atau membuat proyek kreatif yang menampilkan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an, seperti karya seni, video, atau presentasi tentang keadilan sosial dalam Islam.
Asesmen berbasis tadabbur
Peserta didik diajak merenungi makna ayat dan menuliskan refleksi pribadi. Ini memperkuat sisi afektif dan melatih kesadaran moral serta spiritual mereka.
Pemanfaatan teknologi
Platform seperti e-portfolio, video tilawah, serta kuis interaktif (Quizizz, Kahoot, Wordwall, dll.) dapat digunakan untuk menciptakan asesmen yang menarik, adaptif, dan menyenangkan, sekaligus kontekstual.
Peningkatan kapasitas guru
Guru perlu dibekali pelatihan asesmen holistik yang menyentuh aspek kognitif, afektif, dan spiritual secara seimbang. Peran guru sebagai fasilitator nilai menjadi kunci keberhasilan asesmen yang memanusiakan.
Penutup: Saatnya Asesmen yang Memanusiakan
Sudah waktunya asesmen PAI direkonstruksi. Kita tak bisa terus-menerus menilai keberhasilan belajar agama hanya dari seberapa banyak ayat yang dihafal. Ukuran keberhasilan yang lebih utama adalah sejauh mana Al-Qur’an mampu mengubah seseorang menjadi pribadi yang berakhlak, bijak, dan peka terhadap persoalan sosial di sekitarnya.
PAI tidak boleh hanya menjadi “mata pelajaran wajib,” melainkan harus menjadi jalan pencerahan—yang membentuk akal yang cerdas, hati yang lembut, dan tindakan yang bermartabat.
Saat ini, adalah saat yang tepat bagi kita—pendidik, orang tua, dan masyarakat—untuk bersama-sama merealisasikan asesmen yang lebih holistik. Setiap pihak memiliki peran penting untuk memastikan bahwa pendidikan agama bukan hanya soal hafalan, tetapi juga pemahaman yang mendalam dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis mendorong para pendidik untuk mulai mengevaluasi kembali metode asesmen yang ada, menjadikannya lebih reflektif dan bermakna. Begitu pula, orang tua dapat mendukung anak-anak mereka dengan memberikan ruang untuk berdiskusi tentang makna ayat-ayat Al-Qur’an dan bagaimana itu dapat diaplikasikan dalam tindakan mereka.
Mari kita jaga komitmen bersama untuk menghidupkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan, agar generasi masa depan tidak hanya menghafal ayat, tetapi juga menjadikannya pedoman hidup yang nyata. Dengan langkah-langkah nyata ini, kita dapat mewujudkan PAI yang bukan hanya mencetak hafidz, tetapi pribadi-pribadi Qur’ani yang bijak, peka, dan berakhlak mulia.
Muhammad Hizba Aulia, Penulis adalah Mahasiswa Magister PAI Universitas Pendidikan Indonesia