“Melacak Jejak Telinga Panjang” Bagaikan Lorong waktu yang menembus kabut tebal yang terasa energi mistisnya. Pesan tak bersuara dari sang patung telinga Panjang yang menangis, menembus sukma. Kelangkaan warisan tradisi yang dilestarikan dalam tulisan dan foto. ( Agatha Anne Bunanta )
SUBANG, TINTAHIJAU.com – Melacak Jejak Telinga Panjang adalah buku ketiga yang ditulis Ati Bachtiar setelah buku pertama, Telinga Panjang – Mengungkap yang Tersembunyi (2016), dan buku kedua, Jejak Langkah Telinga Panjang (2019) mendapat respon positif dari masyarakat.
Perjalanan panjang selama sembilan tahun riset dan pendokumentasian menghasilkan 78 Perempuan (Nenek) Telinga Panjang, generasi terakhir pewaris budaya di Kalimantan Timur, Utara, dan Barat.
Buku setebal 252 halaman full color, yang diterbitkan oleh Yayasan ArtPhoto Indonesia menyajikan 221 foto yang menggambarkan profil dan kehidupan wanita suku Dayak bertelinga panjang yang berasal dari rumpun Apokayan (wilayah sekitar perbatasan Kaltim dan Kaltara). Sejarah panjang tradisi memanjangkan telinga dan merajah tubuh kini diambang kepunahan.
Dari 78 nenek yang terdokumentasi, 30 diantaranya telah wafat dan tidak satupun dari keturunan mereka yang meneruskan. Pergeseran nilai memanjangkan telinga sebagai status sosial yang membanggakan menjadi simbol keterbelakangan dan (dianggap) memalukan memuncak pada sekitar tahun 1970-an. Ditandai dengan gerakan memotong telinga secara masif, mempercepat punahnya tradisi telinga panjang.
Sebagai seorang fotografer, Ati merasa terpanggil untuk mendokumentasikan secara lengkap tentang budaya telinga panjang, sebelum tradisi ini hilang ditelan arus globalisasi.
Waktu terus bergulir, kehidupan terus berganti, tak ada yang abadi.
Yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Fotografi adalah media yang dapat membekukan waktu. Bukti visual yang memperkuat fakta sejarah. Bahwa manusia bertelinga panjang dengan rajah di sekujur tubuhnya sebagai simbol kecantikan dan jati diri, pernah ada dalam peradaban manusia.
Telinga panjang merupakan satu dari empat keunikan 1200-an suku di dunia, yaitu: leher panjang di Myanmar, mulut lebar di Afrika, dan kaki mungil di China. Seyogyanya, bukan saja menjadi kekayaan budaya Indonesia, tapi juga menjadi warisan budaya dunia.
Buku ini merupakan karya kolaborasi Ati Bachtiar dengan Kurator Agatha Anne Bunanta, Desainer Grafis: Hagung Sihag, Editor Bahasa: Madin Sumadiningrat, Story Telling Media Sosial: Ray Bachtiar Dradjat, dan Konsultan Kreatif: Monica Ginting.
Ati Bachtiar terlahir di Bandung pada 1969 dengan nama R. Ruh Hayati, lulusan Sastra Perancis Universitas Padjadjaran Bandung. Ibu beranak dua penyintas Kanker. Seorang asesor fotografi, fotografer madya bersertifikat dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Ati fokus dalam bidang Etnofotografi pada 2016. Ati juga meraih penghargaan CSR Indonesia Award 2022 kategori Pelestari Budaya.
Jakarta, 16 Februari 2024