Adzan Subuh menggema dari masjid kampung di Ciasem, Subang, ketika Arman terjaga dengan tenggorokan kering dan perut yang menahan lapar. Ramadan telah memasuki hari-hari pertengahan—hari di mana tubuh mulai lemah, tapi keyakinan justru diuji lebih dalam.
Ia menutup sahur dengan segelas air putih. Tak banyak yang tersaji di meja, hanya nasi, tempe goreng, dan sambal sisa semalam. Sebelum berangkat, Arman menyelipkan doa di sela sujudnya: cukupkan yang kurang, kuatkan yang lemah, dan lapangkan rezeki yang sering terasa sempit.
Pesan dari redaksi masuk saat matahari baru merayap. “Mang, liputan warga terdampak gagal panen di Patokbeusi. Hari ini tayang.”
Arman membaca pesan itu sambil menatap wajah anak-anaknya yang masih terlelap. Puasa membuat langkahnya lebih pelan, tapi niatnya tetap tegak.
Motor tua itu melaju menyusuri jalan pantura. Panas mulai terasa, debu beterbangan. Arman berhenti di pematang sawah, mencatat cerita petani yang puasa sambil tetap mencangkul. “Puasa mah lain soal kuat atau tidak,” kata seorang petani tua, “tapi soal pasrah.”
Kata itu menempel di benak Arman saat ia menulis naskah di bawah pohon waru. Ia menahan haus, menahan lapar, dan menahan keinginan untuk mengeluh. Di sela penulisan, ia menyisihkan uang receh dari saku celananya, dimasukkan ke kotak amal masjid kecil yang ia singgahi untuk salat Dzuhur. Tak seberapa, tapi Arman percaya: sedekah tak pernah bertanya jumlah.
Menjelang Asar, Arman pulang. Di rumah, Dina menyiapkan takjil sederhana—kolak pisang dan air gula aren. Anak-anak membantu membungkus beberapa porsi untuk dibagikan ke tetangga dan musafir yang biasa melintas di jalan kampung. Arman ikut mengantar, meski tubuhnya letih.
Salah seorang anak bertanya, “Ayah, kita kan lagi puasa, kok masih ngasih?”
Arman tersenyum. “Justru karena puasa, Nak. Supaya kita ingat, rezeki itu titipan.”
Saat adzan Magrib berkumandang, Arman berbuka dengan air putih dan kurma pemberian tetangga. Rasanya manis, bukan hanya di lidah, tapi juga di dada. Malam datang bersama salat Tarawih. Di saf masjid, Arman berdiri di antara buruh, petani, dan pedagang kecil, semua sama, semua berharap.
Pulang dari masjid, Arman membuka ponsel. Honor liputan masuk, tak besar, tapi cukup. Ia kembali menyisihkan sebagian kecilnya ke amplop sedekah yang ia simpan di laci. Ia tahu, hidup tak selalu tentang memiliki, tapi tentang berbagi meski sedang kekurangan.
Di atas sajadah, sebelum tidur, Arman menutup hari dengan doa yang sama: agar tulisannya jujur, keluarganya cukup, dan hidupnya, meski sederhana, tetap bernilai ibadah.
Bagi Arman belajar menulis adalah ikhtiar, memberi adalah syukur, dan berbagi adalah cara paling sunyi untuk mendekat pada Tuhan.
Alesan Azra, Cerpenis Muda tinggal di Kabupaten Subang









