Gunungan sampah di TPS Jalitri yang bau menyengat hingga dipenuhi belatung, seharusnya jadi tamparan keras bagi semua pihak. Produksi sampah Kabupaten Subang yang mencapai 600 ribu ton per tahun bukan lagi sekadar angka statistik di laporan dinas. Itu adalah krisis nyata yang setiap hari mengancam kenyamanan, kesehatan, bahkan masa depan kota ini. Pertanyaan yang menggelayut di benak warga: sampai kapan kita dibiarkan hidup berdampingan dengan tumpukan sampah?
Ketua DPRD Subang, Victor Wirabuana Abdurachman, bersama Wakil Ketua Komisi III Hendra Boeng Purnawan dan jajaran DLH, sudah turun langsung ke lapangan. Ultimatum sudah dikeluarkan: dua hari, TPS Jalitri harus bersih. Tentu langkah ini patut diapresiasi. Tetapi mari jujur—membersihkan satu TPS bukan solusi, hanya tambal sulam sementara. Sampah tidak akan berhenti menumpuk hanya karena satu kali instruksi. Akar masalahnya jauh lebih kompleks dan kronis.
UTAK ATIK OTAK URUS MASALAH SAMPAH
Mari kita buka satu per satu. Armada pengangkut sampah Subang hanya 26 unit, padahal idealnya dibutuhkan 80 unit. Separuh dari armada itu kondisinya tidak layak jalan. Bagaimana mungkin kota dengan 1,6 juta penduduk berharap bisa bersih dengan fasilitas yang begitu minim? Akses ke TPA Jalupang pun rusak parah, memperlambat ritme pengangkutan. Status lahan TPA pun masih menyisakan persoalan. Sementara itu, volume sampah harian dari TPS-TPS besar seperti Terminal dan Jalitri mencapai belasan ton setiap hari. Ini jelas bukan situasi normal, ini darurat!
Komisi III DPRD Subang sudah memberi sinyal keras dengan memanggil Dinas Lingkungan Hidup, para camat, dan lurah di wilayah perkotaan untuk hearing pekan depan. Rencana ini harus jadi momentum penting. Pemanggilan itu tidak boleh berhenti pada diskusi basa-basi, apalagi jadi rapat seremonial penuh jargon. Subang butuh keputusan berani, eksekusi cepat, dan keberpihakan anggaran yang nyata.
Namun, mari kita tegaskan: masalah sampah bukan sekadar soal teknis atau logistik. Ini adalah cermin keseriusan politik. Jika Pemkab dan DPRD sungguh-sungguh menempatkan penanganan sampah sebagai prioritas, maka anggaran harus berpihak. Jangan biarkan program pengelolaan sampah hanya jadi proyek pengadaan alat yang mangkrak. Mesin-mesin pengolah sampah yang dibeli dengan uang rakyat sudah banyak berdebu, menjadi besi tua karena tidak diintegrasikan dengan kebijakan yang jelas. Apakah kita akan terus mengulang kesalahan ini?
Di sisi lain, masyarakat pun tidak boleh lepas tangan. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, rendahnya kesadaran memilah sampah rumah tangga, hingga sikap acuh tak acuh terhadap kebersihan lingkungan, memperburuk keadaan. Tidak ada gunanya menambah armada atau membuka TPA baru jika perilaku masyarakat tidak berubah. Pemerintah bisa bekerja, DPRD bisa mengawasi, tetapi tanpa partisipasi warga, Subang akan tetap tenggelam dalam lautan sampah.
Darurat sampah Subang adalah tanggung jawab kolektif. DPRD sudah mengambil langkah, Pemkab punya kewenangan, dan masyarakat memiliki peran vital. Saatnya berhenti menunggu. Jangan biarkan Subang terjerumus lebih dalam hingga masalah sampah berubah menjadi bencana kesehatan dan lingkungan.
Jika tidak ada langkah tegas hari ini, besok mungkin sudah terlambat. Subang tidak boleh dikenal sebagai kota sejuta gunungan sampah. Subang harus dikenal sebagai kota yang berani menghadapi masalahnya sendiri, dengan solusi nyata, bukan sekadar teori.






