Baru-baru ini, Kabupaten Subang menjadi sorotan setelah 50 pelajar tingkat SMP dan MTs dikirim ke barak pendidikan karakter di Lanud Suryadarma Kalijati. Program ini bukan sekadar “penggemblengan ala militer,” tetapi sebuah bentuk ikhtiar serius dari pemerintah daerah untuk menjawab krisis yang perlahan tapi pasti menggerogoti generasi muda: hilangnya karakter.
Ketika orang tua mulai menyerah, guru merasa tak berdaya, dan masyarakat memilih diam, kehadiran program pendidikan karakter ini ibarat air di tengah kemarau. Disiplin, sopan santun, ibadah tepat waktu, serta tanggung jawab sosial—semua itu kembali ditanamkan di luar ruang kelas, di tengah suasana yang mendorong keteraturan dan keteladanan.
Lebih mengejutkan lagi, sebagian dari anak-anak yang sebelumnya dikenal sebagai “troublemaker” mulai menunjukkan perubahan. Ada yang dulunya merokok lima bungkus sehari, kini justru bercita-cita menjadi TNI. Anak-anak yang dulunya melawan orang tua, kini memimpin doa dan salat berjamaah. Ini bukan hasil sulap, tapi bukti bahwa karakter bisa dibentuk—asal ada niat, metode, dan kolaborasi.
Namun, pertanyaannya: Mengapa kita perlu menunggu sampai anak-anak “nakal” dulu baru kita bentuk karakternya? Mengapa pendidikan karakter belum menjadi prioritas sejak dini, sejak anak masuk sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak?
Indonesia selama ini terlalu sibuk mengejar nilai akademik. Ujian nasional, ranking, prestasi olimpiade, semua jadi tolok ukur suksesnya pendidikan. Padahal, keberhasilan sejati adalah ketika anak bisa menghormati orang tua, menjaga kebersihan, jujur dalam tindakan, dan mampu mengendalikan emosi. Nilai-nilai ini justru tak diujikan, tapi sangat menentukan arah masa depan bangsa.
Karakter adalah pondasi. Tanpa itu, kecerdasan bisa berbalik menjadi bencana. Korupsi, kekerasan, bullying, hingga pelecehan seksual di sekolah adalah gejala dari pendidikan yang timpang, cerdas otak, tapi miskin akhlak.
Maka pendidikan karakter bukanlah “tambahan pelajaran” di sela pelajaran eksakta. Ia adalah jiwa dari seluruh proses pendidikan itu sendiri. Jika tak dijadikan prioritas hari ini, maka kita sedang menyiapkan generasi pintar yang tak punya arah.
Program di Lanud Suryadarma adalah titik awal yang patut diapresiasi. Namun, jangan berhenti di sana. Program ini harus diikuti oleh transformasi menyeluruh di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Guru tak bisa sendirian. Orang tua tak bisa hanya menyerahkan pada sekolah. Pemerintah tak bisa bekerja tanpa kolaborasi.
Karakter bukan dibentuk dalam sehari, tapi ia tumbuh dari kebiasaan, teladan, dan lingkungan yang mendukung. Mari kita bangun itu—bersama.