Literasi

EDITORIAL | Rajab, Tahun Baru dan Kemunafikan Ritual

×

EDITORIAL | Rajab, Tahun Baru dan Kemunafikan Ritual

Sebarkan artikel ini


Rajab selalu diperingati sebagai bulan istimewa dalam sejarah Islam. Di bulan inilah peristiwa Isra Mikraj terjadi, sebuah perjalanan spiritual agung yang melahirkan perintah shalat lima waktu.

Ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah, tanpa perantara, sebagai fondasi kehidupan seorang muslim. Ironisnya, justru ibadah sefundamental ini kerap kehilangan makna sosialnya.


Rajab datang hampir setiap tahun, diperingati dengan ceramah, spanduk, dan seruan moral. Namun pertanyaannya sederhana sekaligus menggugat: apakah peringatan itu benar-benar mengubah perilaku umat, atau sekadar mengulang narasi yang sama dari tahun ke tahun?


Kebetulan Rajab kali ini bertepatan dengan akhir tahun 2025. Sebuah momen yang seharusnya membuka ruang muhasabah kolektif, bukan hanya refleksi personal. Karena problem umat hari ini bukan pada kekurangan ritual, melainkan pada krisis akhlak yang terjadi di tengah kelimpahan ibadah.


Kita hidup di masyarakat yang masjidnya penuh, tetapi keadilan terasa langka. Barisan shalat lurus, namun praktik sosial sering bengkok. Shalat ditegakkan lima waktu, tetapi korupsi, manipulasi, kebohongan publik, dan kekerasan sosial tetap subur. Di titik ini, shalat patut dipertanyakan bukan untuk diragukan, tetapi untuk dimaknai ulang.


Literatur keislaman menegaskan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Namun realitas menunjukkan sebaliknya: banyak pelaku ketidakadilan yang tidak pernah meninggalkan shalat. Fenomena ini mengungkap ironi besar—ritual berjalan, tetapi nilai tidak hidup.


Masalahnya bukan pada shalat sebagai ajaran, melainkan pada cara umat memposisikannya. Shalat direduksi menjadi kewajiban individual, terpisah dari tanggung jawab sosial. Ia berhenti di sajadah, tidak menjalar ke ruang kerja, ruang kekuasaan, dan ruang interaksi sosial.


Pergantian tahun sering dirayakan dengan resolusi simbolik, tetapi jarang disertai perubahan substansial. Kita sibuk memperbaiki jadwal, target, dan pencapaian duniawi, tetapi abai mengevaluasi kualitas ibadah yang seharusnya menjadi fondasi moral. Padahal shalat yang benar mestinya melahirkan kejujuran dalam bekerja, keberanian menolak kebatilan, dan empati terhadap yang lemah.


Kritik ini bukan ditujukan pada individu semata, tetapi pada budaya keberagamaan yang terlalu menekankan tampilan lahiriah. Kita gemar mengukur kesalehan dari atribut, gerakan, dan frekuensi ibadah, tetapi enggan menagih konsekuensi etiknya. Akibatnya, lahirlah kesalehan simbolik yang miskin keberpihakan dan tanggung jawab sosial.


Rajab dan tahun baru seharusnya menjadi momentum hijrah kolektif: dari keberagamaan yang seremonial menuju keberagamaan yang transformatif. Dari Islam yang dipertontonkan ke Islam yang diperjuangkan dalam keadilan sosial, kejujuran publik, dan kepedulian terhadap sesama.


Jika shalat masih gagal membentuk perilaku, maka problemnya bukan pada kurangnya ceramah, melainkan pada keberanian kita untuk bercermin. Mungkin yang perlu diperbaiki bukan jumlah ibadah, tetapi kejujuran dalam menjalankannya.
Tahun boleh berganti, Rajab akan kembali datang.

Pertanyaannya tetap sama: apakah kita masih akan mempertahankan kemunafikan ritual, atau mulai menghidupkan nilai shalat dalam kehidupan nyata?